Skip to main content

Istri-Istri Nabi



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Salah satu harta peninggalan Rasulullah saw yang patut kita teladani yaitu cara beliau membangun rumah tangga. Nabi Muhammad saw merupakan manusia yang sangat sukses dalam bidang ini. Beliau menjadi seorang suami yang bertanggung jawab terhadap istri-istrinya, baik dalam bidang nafkah lahir maupun batin.[1]
Setelah Rasalulullah ditinggal wafat oleh Khadijah, istrinya yang pertama, beliau menikah kembali dengan beberapa orang perempuan. Hal ini dilakukan oleh Rasulullah, karena beliau sendiri memiliki tujuan yang mendasar hingga menikahi lebih dari satu orang perempuan.
Oleh karena itu, mengingat pentingnya pembahasan ini, maka pada kesempatan kali ini akan dibahas mengenai sejarah dari istri-istri nabi sebagaimana tercantum dalam surat Al-Ahzab ayat 6. Sehingga dengan mengetahui sejarah istri-istri beliau, kita dapat mengetahui mengenai alasan Rasulullah menikahi beberpa perempuan tersebut.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang diambil yaitu sebagai berikut:
1.      Bagaimana isi surat Al-Ahzab ayat 6 mengenai sejarah istri-istri Nabi SAW?
2.      Siapa sajakah dan bagaimana sejarah dari istri-istri Nabi?
3.      Bagaimana kedudukan istri-istri Nabi di kalangan kaum muslimin?


C.    Tujuan
Tujuan dari pembahasan makalah ini yaitu:
1.      Untuk mengetahui isi surat Al-Ahzab ayat 6,
2.      Untuk mengenai sejarah dari istri-istri Nabi, dan
3.      Untuk mengetahui kedudukan istri-istri nabi di kalangan kaum Muslimin.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Isi Surat Al-Ahzab ayat 6







Artinya: “ Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. Orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang muhajirin, kecuali kalau kamu hendak berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Demikianlah telah tertulis dalam Kitab Allah.” (QS. Al-Ahzab 33: 6)
B.     Istri-Istri Rasulullah
1.      Khadijah binti Khuwaylid bin Asad
Nama nasab Khadijah adalah binti Khuwailid bin Asad bin al-Uzza bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Luay bin Ghalib bin Fahr bin Malik bin al-Nadhr bin Kinanah. Khadijah besar di lingkungan suku Quraisy dan lahir dari keluarga terhormat 15 tahun sebelum tahun gajah.
Sebelum menikah dengan Rasulullah, Khadijah pernah dua kali menikah, yaitu suami pertamanya Abu Halah al-Tamimi. Abu Halah inilah yang wafat dengan meninggalkan kekayaan serta jaringan bisnis yang luas. Pernikahan kedua yaitu dengan Atiq bin Aidz bin Makhzum. Suami keduanya juga meninggalkan banyak kekayaan dan relasi bisnis. Selain itu, dan tentu saja karena kecerdasan dan luasnya pengetahuan bisnisnya serta karena sebelumnya Khadijah adalah saudagar kaya, sehingga ia menjadi orang terkaya di kalangan Quraisy.[2]
Ketika menikah dengan Nabi Muhammad Saw, ia berusia 40 tahun. Siti Khadijah yang meminang Nabi Saw yang pada saat itu Nabi berusia 25 tahun. Selama Nabi memperistri Khadijah, Nabi Saw tidak pernah menikah dengan perempuan lain. Pernikahan Nabi dengan Siti Khadijah semata-mata untuk menolongnya. Karena jika Nabi tidak mengawininya niscaya harta benda dan dirinya akan selalu menjadi permainan laki-laki, sebagaimana yang berlaku dalam bangsa Arab pada masa itu.[3]
Khadijah adalah wanita pertama yang dinikahi oleh Rasulullah. Ketika Khadijah wafat, Rasulullah sangat berduka. Allah mengutus Jibril membawakan gambar Aisyah. Jibril berkata:”Ya Rasulullah, inilah yang akan menghilangkan sebagian kesedihanmu, dia memiliki kualitas yang sama dengan Khadijah”.
2.      Saudah binti Zam’ah bin Qais bin Abdu Syams
Ibunya adalah Syamusy binti Qais bin Amar dari Bani Najjah kaum Anshar. Saudah menikah dengan Sakran bin Amar bin Abdu Syams. Ia masuk Islam di Makkah pada masa awal berbaiat kepada Nabi. Suaminya pun masuk Islam. Mereka hijrah ke Abyyssinia pada hijrah yang kedua.[4]
Rasulullah menikahinya bukan semata-mata karena harta atau kecantikannya, karena memang dia tidak tergolong wanita cantik dan kaya. Rasulullah hanya melihat semangat jihadnya di jalan Allah, kecerdasan otaknya, perjalanan hidupnya yang senantiasa baik, keimanan, serta keihklasannya kepada Allah dan Rasul-Nya.[5]
Selain itu, Nabi Saw pun menikahi Siti Saudah dengan tujuan untuk meringankan beban yang dipikulnya dan untuk melindungi seorang janda yang hidup di tengah-tengah fitnah yang sedang menghebat, kecuali dengan mengawininya. Sehingga fitnah tersebut dapat terkikis habis dengan sendirinya.[6]
Bukair mengatakan, “Sakran bin Amar datang ke Makkah bersama isterinya Saudah binti Zam’ah. Dia meninggal di Makkah, meninggalkan isterinya sebagai janda. Ketika saudah sudah menjadi halal (masa iddahnya sudah habis, Rasulullah saw mengutus orang untuk meminangnya. Dia menjawab “urusanku berserah kepadamu, ya Rasulullah” Rasulullah lalu berkata, “Mintalah kepada kepada seorang laki-laki di keluargamu untuk menikahkanmu”. Beliau meminta Hatib bin Amar bin Abdul Syams untuk menikahkan mereka. Saudah adalah wanita pertama yang dinikahi Rasulullah saw setelah Khadijah”.
Abdullah bin Muslim berkata, “Rasulullah saw menikahi Saudah di bulan Ramadhan, pada tahun kesepuluh kenabian, setelah Khadijah wafat dan sebelum beliau menikahi Aisyah. Beliau menyelenggarakan pernikahan itu di Makkah dan hijrah bersama Saudah ke Madinah”.
Abdullah bin Muslim berkata,”Saudah binti Zam’ah meninggal di Madinah pada bulan Syawal 54 H, pada masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan”.[7]
3.      Aisyah binti Abu Bakar Shiddiq bin Abu Quhafa
Ibunya bernama Ummu Ruman binti Umayr dari Kinanah. Ibnu Abbas berkata,”Rasulullah Saw meminang Aisyah kepada Abu Bakar dan Abu Bakar menjawab,’Ya Rasulullah dia telah dijanjikan untuk Jubair, anak laki-laki dari Muktim bin Adi. Biarlah aku pastikan agar mereka melepaskannya.’Setelah Abu Bakar melakukan itu, kemudian Aisyah menikahi Rasulullah dan dia masih gadis.”[8]
Aisyah waktu dikawini oleh Rasulullah mempunyai pribadi yang sedang tumbuh. Pikirannya tajam sebagai biasanya dimiliki oleh orang-orang yang pribadinya sedang tumbuh. Maka apabila ia diambil oleh Rasulullah menjadi isteri beliau dalam masa pembentukkan syariat Islam sebagai dewasa itu akan dapat menjadi faktor yang sangat penting untuk menghafal dan memelihara serta menyiarkan hadis-hadis Nabi. Begitu juga untuk menyampaikan berbagai macam syariat dan hukum kepada manusia.[9]
Aisyah mengatakan,”Rasulullah saw mengawini aku pada bulan Syawal tahun kesepuluh kenabian, tiga tahun sebelum hijrah. Aku waktu itu masih berumur enam tahun. Rasulullah hijrah dan sampai di Madinah pada hari ke-12 bulan Rabi’ul Awal. Kami walimahan pada bulan Syawal delapan bulan setelah hijrah dan ketika itu aku berumur 9 tahun”.
Abu Bakar menikahkan Aisyah dengan Rasulullah dengan mahar perabotan rumah tangga seharga sekitar 40 dirham. Pengasuhnya menjemputnya ketika dia sedang bermain dengan teman-temannya dan menarik tangannya serta membawanya ke rumah. Lalu pengasuhnya merapikan serta memberinya kerudung lalu membawa ke Rasulullah.
Terdapat sepuluh kelebihan Aisyah binti Abu Bakar dibandingkan dengan istri-istri Rasulullah yang lain yaitu[10]:
1.      Rasulullah tidak menikahi seorang gadis kecuali Aisyah binti Abu Bakar,
2.      Rasulullah tidak menikahi seorang wanita yang kedua orangtuanya termasuk kaum muhajirin, kecuali Aisyah binti Abu Bakar.
3.      Allah yang Maha Kuasa menyingkapkan kepolosan Aisyah dari Surga.
4.      Jibril membawa dari surga gambar Aisyah diatas sutra dan berkata, “Nikahilah dia, dia istrimu”.
5.      Rasulullah melakukan mandi janabah bersama Aisyah dari bejana yang sama, sedangkan dengan istri-istri Rasulullah yang lain tidak,
6.      Rasulullah pernah shalat sementara Aisyah sedang tidur berbaring di depannya.
7.      Wahyu turun ketika sedang bersama Aisyah, dan tidak ketika bersama istri yang lain.
8.      Allah memanggil ruh Rasulullah ketika beliau terbaring di dadaku.
9.      Rasulullah wafat di malam yang menjadi hak Aisyah, dan
10.  Rasulullah dikuburkan di rumah Aisyah.
Aisyah wafat di malam 17 Ramadhan setelah shalat witir tahun 58. Dia memerintahkan untuk dikuburkan di malam yang sama, dan orang-orang berkumpul dan menghadirinya
4.      Hafsah binti Umar bin Khattab
Ibunya yaitu Zainab binti Maz’un, saudara perempuan Usman bin Maz’un. Hafsah dilahirkan ketika kaum Quraisy sedang membangun Baitullah lima tahun sebelum Rasul saw diutus”.Khunays bin Hudhafah bin Qays menikahi Hafsah binti Umar bin Khattab. Dan pindah bersamanya ke Madinah, teampat dimana Khunays wafat meninggalkan Hafsah sebagai janda sampai masa hijrah ketika Rasul saw pulang dari perang badar.
Umar bercerita,”ketika Khunays bin Hudhafah meninggal, aku meminta Usman untuk menikahi hafsah dan dia menolakku. Aku menceritakan hal itu kepada Rasul,’Ya Rasulullah, betapa mengherankan Usman! Aku menyarankan dia menikahi Hafsah dan dia berpaling dariku.’ Rasulullah menjawab,’Allah akan menikahkan Usman dengan orang yang lebih baik dari putrimu dan menikahkan putrimu dengan orang yang lebih baik daripada Usman.” Dikatakan bahwa Umar meinta Usman menikahi Hafsah setelah meninggalnya Ruqayyah, putri Rasul. Tetapi pada waktu itu Usman ingin menikahi Ummu Kultsum, juga putri Rasulullah. Maka Usman menolak tawaran Umar. Rasulullah menikahi Hafsah dan menikahkan Ummu Kultsum dengan Usman bin Affan.
Husain bin Abi Husain berkata bahwa Rasulullah saw menikahi Hafsah pada bulan Sya’ban 3o bulan sebelum perang uhud. Hafsah meninggal di bulan Sya’ban, tahun 45 pada masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan pada umur 60 tahun.[11]
5.      Ummu Salamah
Namanya yaitu Hindun binti Abi Umayyah. Ayahnya yaitu Suhail, yang digelari Zad Rakib. Ibunya adalah Atikah binti Amir bin Rabi’ah dari Kinanah. Suami dari Ummu Salamah yaitu Abdullah bin Abdul Asad dari Makhzum. Mereka hijrah ke Abyssinia. Disana Ummu Salamah melahirkan Zainab, kemudian Salamah, Umar dan Durrah.
Ummu Salamah merupakan seorang Ummul Mukminin yang berkepribadian kuat, cantik dan menawan serta memiliki semangat jihad dan kesabaran dalam menghadapi cobaan. Berkat kematangan berpikir dan ketepatan dalam mengambil keputusan, dia mendapatkan kedudukan mulia di sisi Rasulullah saw.[12]
Abdullah bin Abdul Asad pergi ke perang uhud, dan Abu Salamah Jasyami melukainya di lengan dengan panah. Lukanya diobati selama  sebulan dan kemudian sembuh. Rasulullah saw mengutus suami Ummu Salamah ke Qatan pada bulan Muharram di awal bulan ke 35 (setelah hijrah). Ia pergi selama 29 hari kemudian kembali dan memasuki Madinah pada hari ke 8 Safar tahun ke 4 Hijriyah dan lukanya telah membusuk. Akibat luka tersebut, suami Ummu salamah meninggal di hari ke 8 Jumada Al-Tsaniyah tahun keempat Hijriah. Ummu Salamah menjalani masa iddahnya yang berakhir tanggal 10 Syawal 4 H. Kemudian Rasulullah saw menikahi Ummu Salamah di akhir bulan Syawal 4 H. Ummu Salamah meninggal pada bulan Zul’dah tahun 59”.
6.      Ummu Habibah
Nama dari Ummu Habibah yaitu Ramlah binti Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah. Ibunya merupakan bibi dari Usman bin Affan yang bernama Safiyyah bin Abul ‘As. Ummu Habibah menikahi Ubaydillah bin Jahsy dari Khuzayma, sekutu Harb bin Umayyah. Mempunyai anak yang dinamai Habibah, yang darinya dia mendapat nama Ummu Habibah. Habibah menikah dengan Daud bin Urwah bin Mas’ud Tsaqafi.
Ubaydillah bin Jahsy hijrah bersama Ummu Habibah ke Abyssinia pada hijriah kedua. Dia murtad dari Islam dan meninggal di Abyssinia. Sedangkan Ummu Habibah tetap tegu dengan keislamannya dan hijrah.
Ketika masa iddah Ummu Habibah selesai, utusan Negus mengetuk pintu meminta izin untuk masuk. Dia adalah seorang budak perempuan Negus yang bernama Abrahah yang bertugas mengatur pakaian Negus dan meminyakinya. Kemudian dia masuk ke ruangan tempat Ummu Habibah berada. Utusan Negus tersebut berkata bahwa “Sang raja mengatakan bahwa Rasulullah telah menyuratinya untuk menikahi engkau.’ Dia berkata,’Semoga Allah memberimu kabar gembira!’ Katanya lagi,’Sang raja mengatakan “Tunjuklah seseorang untuk menikahkanmu”.
Maka Ummu Habibah mengirim utusan kepada Khalid bin ‘As sebagai walinya. Ia memberi Abrahah dua gelang perak dan dua gelang kaki serta cincin perak yang dipakai karena riangnya atas kabar gembira itu. Di malam hari Negus memerintahkan Ja’far bin Abi Thalib dan kaum muslim yang ada bersamanya untuk berkumpul, dan Negus berpidato,”Aku memanjatkan puji kepada Allah, Al-Malik, yang Mahasuci, yang Mahadamai, Maha Terpercaya, Maha Penyelamat, Maha Kuasa, Maha Pemaksa. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Beliau termasuk salah satu kabar gembira yang disampaikan Isa bin Maryam. Setelah itu, Rasulullah telah berkirim surat memerintahkan aku untuk menikahkannya dengan Ummu Habibah binti Abi Sufyan, dan dia telah menerima pinangan Rasulullah tersebut. Aku telah memberikan maskawin 400 dinar. “
Kemudian uang tersebut ditunjukkan kepada hadirin. Khalid bin Said juga berpidato,” Segala puji bagi Allah! Aku memuji-Nya dan meminta pertolongan-Nya serta dukungan-Nya. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya dengan petunjuk dan din kebenaran untuk meninggikannya di atas agama lainnya, meskipun para pemuja berhala menentangnya. Setelah itu, aku menjawab pinangan Rasulullah dan aku telah mengawinkannya dengan Ummu Habibah bin Abi Sufyan. Semoga Allah meridhai Rasulullah.” Negus memberikan uang tadi kepada Khalid bin Sa’id bin ‘As dan dia menerimanya.
Ketika menjelang ajalnya, Ummu Habibah memanggil Aisyah dan berkata”Ada perasaan tidak enak antara kita dengan sesama istri (Rasul). Semoga Allah mengampuniku juga engkau atas semuanya itu.” Aisyah menjawab,” engkau telah membuatku gembira, semoga Allah menggembirakan engkau pula.” Ummu Habibah mengirim utusan kepada Ummu Salamah untuk mengatakan hal yang seperti itu juga kepadanya. Ummu Habibah meninggal pada tahun 46 H, dimasa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.[13]
7.      Zainab binti Jahsy Asadiyyah
Ibunya adalah Umaymah binti Abdul Muthalib bin Hasyim. Usman Jahsyi mengatakan bahwa Rasulullah pergi menuju Madinah dan Zainab binti Jahsy termasuk yang berimigrasi ke Madinah bersama Rasulullah. Ia seorang perempuan yang cantik dan Rasulullah meminangnya atas nama Zaid bin Haritsah. Lalu Zainab menjawab “Rasulullah aku tidak menyukainya untuk diriku sendiri. Aku janda Quraisy.” Rasulullah berkata, “ Aku menyukainya untuk dirimu”. Maka Zaid bin Haritsah menikahinya.[14]
Terlaksananya perkawinan antara Zainab dengan Zaid ibnu Haritsah, dalam jiwa Zainab masih memendam sekelumit perasaan jahiliah. Zaid pun merasa bahwa Zainab memandang dirinya lebih tinggi daripadanya, serta membanggakan kebangsawanannya. Maka datanglah ia mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah dan menyampaikan keinginannya hendak menceraikan isterinya.
Allah swt telah memberitahukan kepada Nabi bahwa perkawinan itu tidak akan kekal. Akan tetapi Rasulullah tidak hendak menyampaikan hal itu kepada Zaid, dan beliau menganjurkan kepada Zaid supaya dia terus memelihara tali perkawinannya dengan Zainab serta bertaqwa kepada Tuhan.
Akan tetapi, obat ini tidak mengurangi penderitaan Zaid. Akhirnya diceraikannya juga isterinya itu. Namun demikian sekelumit kesan-kesan perkawinan ini membekas juga pada jiwa Zainab dan kerabatnya. Allah swt hendak menghilangkan kesan-kesan yang masih tergores pada jiwa Zainab itu dengan mengokohkan dasar “persamaan” dalam Islam. Maka diwahyukan-Nya kepada Rasulullah supaya memperisteri Zainab.[15]
Muhammad bin Yahya bin Hibban berkata,” Rasulullah datang ke rumah Zaid bin Haritsah untuk mencarinya. Zaid digelari Zaid bin Muhammad. Rasulullah saw sudah beberapa saat tidak bertemu dengannya dan bertanya “Dimana Zaid?”. Beliau pergi ke rumahnya untuk mencarinya tetapi tidak menemukannya. Zainab binti Jahsy istrinya, keluar menemui beliau hanya memakai selapis pakaian dan Rasulullah memalingkan muka darinya. Zainab berkata “Dia tidak ada di sini ya Rasulullah. Masuklah, mungkin ayah dan ibuku bisa menggantikannya.” Rasulullah menolak untuk masuk dan Zainab bergegas memakai pakaian tambahan karena sesuatu yang dikatakan Rasulullah kepadanya di depan pintu. Dia bangkit dengan tangkas dan Rasulullah memujinya dan beliau berbalik sambil menggumamkan sesuatu yang sukar dimengerti, meskipun beliau mengucapkannya keras-keras,” Terpujilah Allah yang Maha Besar! Terpujilah Tuhan yang membalikkan hati.”
Zaid pulang ke rumahnya dan istrinya memberitahu bahwa Rasulullah tadi datang. Zaid berkata “Apakah engkau tidak menyuruhnya masuk?”. Istrinya menjawab “Aku menawarkan demikian pada beliau tetapi beliau menolak”. Zaid bertanya kembali “Adakah kamu mendengar sesuatu?” Dijawab istrinya “Ketika beliau berbalik, aku dengar beliau mengucapkan yang tidak ku mengerti dan aku mendengar beliau mengatakan ‘Terpujilah Allah yang Maha besar! Terpujilah Tuhan yang membalikkan hati.”
Zaid pergi menemui Rasulullah dan bertanya “Rasulullah, kudengar engkau datang ke rumahku. Mengapa engkau tidak masuk?Mungkin ayah dan ibuku bisa menggantikanku menemuimu. Ya Rasul, mungkin Zainab memikat hatimu? Aku akan menceraikan dia”. Rasulullah berkata “Pertahankan istrimu”. Zaid tidak dapat mendekati istrinya sejak hari itu. Maka dia datang menemui Rasulullah dan memberitahukan kepada beliau. Rasulullah berkata “Pertahankan Isterimu”. Zaid menjawab “Ya Rasulullah aku akan menceraikannya”. Rasulullah berkata lagi “Jagalah istrimu”. Zaid berpisah dari istrinya dan menjauhkan diri darinya sampai dia menjadi halal (masa iddahnya habis).
Saat Rasulullah saw duduk dan berbincang-bincang dengan Aisyah, tiba-tiba Rasulullah jatuh pingsan sesaat dan ketika beliau tersadar, beliau tersenyum dan berkata “Siapa yang akan mendatangi Zainab dan menyampaikan kabar gembira bahwa Allah telah menikahkannya denganku di surga?”
Anas mengatakan “Diturunkan wahyu tentang Zainab binti Jahsy Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya dengan istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia (QS. 33:37)
Anas bin Malik berkata “Ketika masa iddah Zainab binti Jahsy habis, Rasulullah saw berkata kepada Zaidbin Haritsah,” Aku tidak mendapati orang yang lebih aku percayai dan dapat kuandalkan selain engkau. Pergilah temui Zainab dan lamarlah dia untukku.” Zaid mengunjungi Zainab ketika itu ia sedang mengaduk adonan. Zaid berkata, “ Ketika aku melihatnya, dadaku berdegup dan aku tidak bisa memandangnya karena aku tahu Rasulullah meminangnya,”Zainab ada kabar gembira! Rasulullah meminangmu.” Zainab menjawab, “Aku tidak akan melakukan apa-apa sampai diperintahkan Tuhanku”. Maka ia pergi menuju sajadahnya dan Allah mewahyukan (QS 33: 37)
Zainab pernah menyombongkan dirinya kepada istri-istri Rasul yang lain dengatakan “Kalian dinikahkan oleh kerabat kalian dan Allah dari langit ketujuh menikahkanku.” Zainab meninggal 20 tahun setelah hijrah yaitu ketika berumur 35 tahun.
Ada orang yang mengira bahwa perkawinan cucu Abdul Muthalib dengan hamba-hamba, akan menurunkan gengsi kebangsawanannya. Karena perkawinannya dengan seorang hamba sahaya, derajatnya menjadi rendah, dan tidak pantas lagi dikawini oleh orang Quraisy. Akan tetapi, Rasululah mengawininya sesudah ia diceraikan oleh suaminya. Maka percayalah orang akan dasar “persamaan” yang diciptakan Islam. Suatu dasar yang penuh dengan himah dan kebijaksanaan yang pada peristiwa Zainab ini dijelaskan Nabi secara praktis.
Di samping itu, Zaid sebelum menikah dengan Zainab adalah anak angkat Nabi, sehingga orang memanggilnya Zaid ibnu Muhammad. Menurut adat kebiasaan Arab, janda dari anak angkat tidak boleh dikawini oleh ayah angkatnya, karena anak angkat sama kedudukannya dengan anak kandung. Allah swt mewahyukan kepada Nabi supaya memperisteri Zainab sesudah diceraikan Zaid untuk membatalkan kepercayaan bangsa Arab mengenai anak angkat itu.[16]
8.      Zainab binti Khuzaymah
Zainab binti Khuzaymah digelari ibu kaum miskin, ia dipanggil demikian pada zaman jahiliyah. Ia menikah dengan Tufail bin Harits bin Muthalib, namun ia menceraikannya. Kemudian Ubaidah bin Harits menikahi Zainab binti Khuzaymah, dan Ubaidah terbunuh sebagai syuhada pada saat perang Badar. Rasulullah menikahi Zainab di awal bulan Ramadhan tahun 31 Hijriyah dengan maskawin 12,5 uqiyyah.  Zainab meninggal di akhir Rabi’ Al-Tsani awal bulan ke 39. Rasulullah menshalatkannya dan menguburkannya di Baqi.[17]
9.      Juwayriyah binti Harits bin Dirar
Juwayriyah adalah putri dari Al-Haris ibnu Abi Dhirar, pemimpin Bani Mushthaliq.[18] Juwayriyah menikah dengan Musafi’ bin Safwan yang terbunuh pada perang Muraysi. Menurut riwayat dari Aisyah, Juwariyah merupakan perempuan yang menarik dan hampir tidak ada orang yang melihatnya yang tidak terpikat dengannya. Juwayriyah dinikahi oleh Rasulullah, ketika ia berumur 20 tahun.
Ketika itu, Rasulullah menangkap beberapa orang perempuan dari Bani Mustalaq dan mengambil khumus dari mereka kemudian membagikannya kepada masyarakat. Beliau memberi prajurit penunggang kuda dua bagian dan prajurit pejalan kaki satu bagian. Juwayriyah masuk ke dalam bagian Tsabit bin Qays Anshari yang merupakan sepupu dari suaminya yang telah meniggal. Tsabit bin Qays memberinya sebuah kontrak kitabah seharga sembilan uqiyyah.
Lantas Juwayriyah menemui Rasulullah untuk mengambil kitabah senilai sembilan uqiyyah. Ketika Juwayriyah meminta Rasulullah untuk memberinya kitabah senilai 9 uqiyyah. Rasulullah berkata atau yang lebih baik dari itu, yaitu bahwa Rasul akan membayarkan Juwayriyah kitabahnya dan menikahinya. Lantas Juwayriyah menyetujuinya.
Diriwayatkan dari nenek Muhammad bin Yazid yang merupakan orang belaan Juwayriyah dan mengatakan bahwa Juwayriyah wafat di tahun 50 ketika ia berumur 65 tahun dan Marwan bin Hakan menshalatkannya.[19]
10.  Safiyyah binti Huyay bin Akhtab
Safiyyah berasal dani Bani Israil, keturunan dari Harun bin Imran. Ibunya yaitu Barrah binti Samwa’il. Safiyyah sebelumnya menikah dengan Salam bin Misykam Qurazi. Kemudian mereka bercerai dan ia menikah dengan Kinanah bin Rabi’ Nadiri yang kemudian terbunuh dalam perang Khaibar.
Ketika Rasulullah menyerang Khaibar dan Allah memberi beliau harta rampasan. Safuyah binti Huyay dan seorang saudara perempuannya sebagai tawanan. Rasulullah meminta Bilal untuk membawa mereka dengan untanya. Rasulullah mendapatkan yang terbaik dari harta rampasannya, dan Safiyyah adalah bagian dari yang beliau pilih pada perang Khaibar itu. Rasul menawarkan untuk membebaskannya apabila ia memilih Allah dan Rasul-Nya. Maka Safiyyah menyetujuinya, dan memeluk Islam. Rasulullah membebaskan Safiyyah lalu menikahinya dan menjadikan pembebasan sebagai maskawinnya. [20]
Safiyyah adalah istri Nabi yang pandai membuat makanan, seperti kue-kue dan sebagainya. Kepandaiannya ini diakui oleh para istri Nabi, terutama oleh Aisyah. Karena itu, diantara mereka bahkan aisyah sendiri sangat mencemburuinya.[21]
Safiyyah meninggal pada tahun 50 Hijriyah pada masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Ia meninggalkan 100.000 dirham setelah menjual tanah dan barang-barangnya. Dia meninggalkan sepertiganya sebgai warisan untuk seorang kemenakannya yang Yahudi.
11.  Rayhanah binti Zaid bin Amr
Nama lengkap Rayhanah yaitu Raihanah binti Zaid bin Amru Khunaqah bin Syam’un bin Zaid dari Bani Nadhir.[22] Sebelumnya Rayhanah menikah dengan seorang laki-laki dari suku Qurayzah yang bernama Hakam. Rayhanah sangat mencintai dan menghormani suaminya itu, hingga dia mengatakan bahwa tidak seorang pun yang dapat menggantikannya. Rayhanah adalah sosok perempuan yang cantik dan anggun.
Ketika Bani Qarayzah ditangkap, Rasulullah saw membawanya sebagai tawanan. Para tawanan diajukan ke depan Rasulullah dan Rayhanah termasuk didalamnya. Rasulullah menunjuk Rayhanah dan ditarik keluar. Rasulullah mendapatkan perampasan yang terbaik.
Rasulullah mengutus Rayhanah ke rumah Ummul Mundzir binti Qays selama beberapa hari sampai penjahat diukum mati dan para tawanan dibagikan. Kemudian Rasulullah mendatanginya dan mengatakan jika ia memilih Allah dan Rasulnya, Rasulullah akan mengambil ia untuk dirinya sendiri.
Ketika Rayhanah menjadi seorang muslim, Rasulullah membebaskannya dan memberinya maskawin sebanyak 12,5 uqiyya. Rayhanah dinikahi Rasulullah pada bulan Muharram, 6 Hijriyah.[23]
12.  Maimunah binti Harits
Ibu dari Maimunah binti Harits yaitu Hindun binti Auf bin Zuhair. Maimunah dinikahi oleh Mas’ud bin Amr Thaqafi pada zaman Jahiliyyah dan kemudian menceraikannya. Setelah Mas’ud dia menikah dengan Abu Ruhm bin Abdul Uzza. Kemudian Abu Ruhm meninggal, lalu Rasulullah saw menikahinya. Abbas bin Muthalib yang menikahkannya. Rasulullah menikahinya di Sarif sepuluh kilo meter dari Makkah. Maimunah merupakan istri terakhir yang dinikahi Rasulullah. Peristiwa itu terjadi tahun 7 Hijriyah saat Umrah penghabisan.
Maimunah binti Harits merupakan wanita yang menyerahkan dirinya kepada Rasulullah saw. Maimunah meninggal pada tahun 61 Hijriyah pada masa kekhalifahan Yazid bin Mu’awiyah .[24]

C.    Kedudukan Istri Rasulullah dalam Masyarakat
Allah telah menegaskan mengenai kedudukan para Istri Nabi di tengah-tengah masyarakat yaitu mereka menjadi Ummahatul Mu’minin, yaitu harus menjadi teladan bagi segenap kaum muslimah. Adapun pengajaran yang diterima oleh istri-istri Rasulullah yang tentunya ditujukan pula untuk seluruh muslimah yaitu sebagai berikut[25]:
1.      Para istri Nabi tidak sepatutnya mnghendaki kemewahan hidup keduniaan. Jika mereka menginginkan kemewahan hidup keduniaan, mereka akan diberi kebebasan atau diceraikan oleh Nabi dengan perceraian yang baik. Akan tetapi, jika mereka menjadi istri Nabi dengan tujuan menghendaki keridhaan Allah dan Rasul-Nya serta menginginkan negeri akhirat, Allah akan menyediakan pahala yang besar bagi mereka yang melakukan kebaikan itu.
2.      Apabila diantara istri Nabi yang melakukan kejahatan atau kekejian yang nyata niscaya ia akan disiksa dua kali lipat daripada siksa yang akan dijatuhkan atas para perempuan selain mereka. Akan tetapi, barang siapa diantara mereka yang benar-benar berbakti kepada Allah dan Rasul-Nya serta mengerjakan amal perbuatan yang saleh, niscaya Allah memberikan pahala dua kali lipat sebagai balasan kepadanya dan telah disediakan untuknya karunia yang mulia.
3.      Para istri Nabi tidak sama dengan para perempuan yang lain jika mereka berbakti kepada Allah. Oleh karena itu, dalam berbicara hendaklah mereka tidak berkata dengan perkataan lemah lembut, dengan gaya yang menarik sehingga dapat menaruh harapan atau menimbulkan keinginan orang laki-laki yang berpenyakit dalam hatinya.
4.      Para istri Nabi hendaklah tetap berdiam di dalam rumahnya dan jangan lah berkelakuan suka menampakkan diri mereka seperti kelakuan orang-orang perempuan Jahiliah yang suka menampakkan diri mereka kepada orang lain.
5.      Di dalam rumah tangganya, para istri Nabi itu hendaklah membaca ayat-ayat Allah (Al-Quran) dan pengajaran Nabi (Sunnah) agar mereka itu benar-benar mengerti akan pimpinan Allah dan pengajaran Rasul-Nya.
Kedudukan dan keistimewaan para istri Nabi saw, yaitu[26]:
1.      Allah telah menghalalkan Nabi mengawini istri-istrinya yang telah diberi mahar atau maskawin dan telah dihalalkan pula mengambil istri-istri atau hamba-hamba yangtelah menjadi tawanan perang.
2.      Nabi dihalalkan mengawini anak perempuan pamannya, anak perempuan bibinya, anak perempuan dari saudara-saudara ibunya yang bersama-sama hijrah dengan beliau.
3.      Nabi dihalalkan pula mengawini perempuan yang beriman (muslimah) yang menyediakan dirinya untuk dijadikan istri oleh Nabi jika memang beliau mau mengawininya. Mengenai hal ini, tidak berlaku bagi seluruh kaum muslimin.
4.      Nabi boleh meninggalkan atau menjauhi sebagian istrinya yang beliau kehendaki dan boleh mengambil kembali sebagian dari istrinya yang beliau kehendaki serta boleh juga menarik kembali istrinya yang telah dijauhinya. Hal ini dimaksudkan sekedar untuk mendinginkan mata mereka atau menyenangkan hati mereka dan supaya mereka tidak berduka cita, bahkan mereka itu menjadi ridha menerima pemberian beliau.
5.      Sesudah istri-istri yang sudah dinikahi oleh Nabi, maka beliau tidak dihalalkan mengawini wanita lain dan walaupun beliau menceraikan salah seorang dari istri-istrinya itu, namun tidak halal bagi beliau untuk menikah lagi sebagai penggantinya.
6.      Kaum muslimin tidak boleh sekali-kali menyakiti hati Nabi Saw, selaku Rasulullah dan tidak boleh sekali-kali mengawini bekas istri-istrinya sesudah wafatnya beliau selamanya karena perbuatan yang demikian itu merupakan dosa besar di sisi Allah.
7.      Nabi Saw itu lebih cinta kepada orang-orang yang beriman (kaum muslimin) daripada cinta mereka antara seseorang dan seseorang yang lain, dan para istri Nabi Saw, itu adalah ibu-ibu bagi orang-orang yang beriman yang tidak halal dinikahi oleh mereka.


BAB III
SIMPULAN
            Siti Khadijah merupakan istri pertama Rasulullah. Setelah Khadijah wafat, Rasulullah menikahi beberapa perempuan diantaranya yaitu Zainab binti Khuzaimah, Saudah binti Zam’ah, Aisyah binti Abu Bakar, Hafshah binti Umar, Zainab binti Jahsy, Hindun (Ummu Salamah) binti Umayyah, Juwairiyah binti Harits, Shafiyah binti Huyayy, Ummu Habibah binti Abi Sufyan, dan Maimunah binti Harits.
            Masing-masing dari isteri Nabi Saw diberi kedudukan Ummahatul Mu’minin atau para ibu orang yang beriman. Sehinnga dijadikan sebagai suri teladan bagi segenap kaum muslimah. Para Istri Nabi Saw memiliki kedudukan atau diberi keistimewaan oleh Allah yaitu:
1.      Nabi Saw tidak dihalalkan oleh Allah mengawini seorang perempuan pun sesudah mereka.
2.      Sepeninggal Nabi Saw, para istri Nabi tidak diperbolehkan dinikahi oleh seorang pun dari kaum muslimin sekali-kali tidak boleh mengawini mereka karena mereka adalah ibu-ibu bagi orang yang beriman.


DAFTAR PUSTAKA
Chalil, Moenawar . 2001. Kelengkapan Tarikh Edisi Lux Jilid 3.Jakarta: Gema
Insani Pers.
Chalil, Moenawar. 2001. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW. Jakarta:
Gema Insani Pers.
Gymnastiar, Abdullah. 2005. Copy Paste Rasulullah Menjiplak Sosok Manusia
Teladan.  Bandung: Khas MQ.
Mustafit , Ahmad Khoiron. 2004. Inner Beauty Istri-Istri Nabi Muhammad SAW.
Bintaro: Qultum Media, 2004.
Insani.
Sa’ad, Ibn. 1997. Purnama Madinah. Bandung: Mizan.
Syalabi, A. 1990. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna.
Yusuf, Amru. 1997. Istri Rasulullah Contoh dan Teladan. Jakarta: Gema Insani
Press.



[1] Abdullah Gymnastiar, Copy Paste Rasulullah Menjiplak Sosok Manusia Teladan, ( Bandung: Khas MQ, 2005) hlm. 46.
[2] Ahmad Khoiron Mustafit, Inner Beauty Istri-Istri Nabi Muhammad SAW, (Bintaro: Qultum Media, 2004) hlm.2-3.
[3] Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Edisi Lux Jilid 3, (Jakarta: Gema Insani, 2001) hlm. 355.
[4] Ib Sa’ad, Purnama Madinah, (Bandung: Mizan, 1997) hlm. 56.
[5] Amru Yusuf, Istri Rasulullah Contoh dan Teladan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997) Hlm. 28.
[6] Moenawar Chalil, Op, Cit., hlm. 356.
[7] Ibn Sa’ad, Op, Cit., hlm. 61.
[8] Ibid., hlm. 61.
[9] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1990) hlm. 127.
[10] Ibn Sa’ad, Op, Cit., hlm. 64-64.
[11] Ibn Sa’ad, Op, Cit., hlm. 77-81.
[12] Amru Yusuf, Op, Cit., hlm. 88.
[13] Ibn Sa’ad, Op, Cit., hlm. 91-95.
[14] Ibid., hlm. 95-96.
[15] A. Syalabi, Op, Cit., hlm. 128-129.
[16] A. Syalabi, Op, Cit., hlm. 129.
[17] Ibn Sa’ad, Op, Cit., hlm. 108-109.
[18] A. Syalabi, Op, Cit., hlm. 130.
[19] Ibn Sa’ad, Op, Cit., hlm. 109-112.
[20] Ibn Sa’ad, Op, Cit., hlm. 112-113.
[21] Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW, (Jakarta: Gema Insani Pers, 2001) hlm. 75.
[22] Amru Yusuf, Op, Cit., hlm. 118.
[23] Ibn Sa’ad, Op, Cit., hlm. 111.
[24] Ibid., hlm. 123.
[25] Moenawar Chalil, Op, Cit., hlm. 72-73.
[26] Ibid., hlm. 85.

Comments

Popular posts from this blog

Makalah Riba, Bank, Asuransi

BAB I PENDAHULUAN A.      Latar Belakang Fiqih merupakan bidang ilmu yang membahas tentang hukum-hukum amaliyyah mustanbathah (praktis) yang diambil dari dalil-dalilnya secara terinci. Adapun fiqih muamalah adalah salah satu dari cabang fiqih, yang mana di dalamnya mengatur hubungan antara satu individu dengan individu lain, atau antara individu dengan negara Islam, dan negara Islam dengan negara lain. Adapun dalam pembahasan kali ini akan dibahas mengenai riba, bank dan asuransi, dimana ketiganya merupakan bagian dari fiqih muamalah. Riba, bank dan asuransi merupakan sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan perekonomian di suatu negara, termasuk di Indonesia. Ketiganya sudah tak asing lagi di telinga masyarakat. Riba merupakan bentuk suatu penambahan dari pembayaran yang telah jatuh tempo. Banyak orang yang menyamakan riba dengan kegiatan jual beli. Anggapan tersebut jelaslah salah, karena keduanya memiliki perbedaan yang sangat mencolok yang dapat dilihat dari aktiv

Theory of Personality's Carl Rogers

KEPRIBADIAN DALAM PANDANGAN CARL ROGERS Disusun untuk Memenuhi Tugas Mandiri Mata Kuliah: Psikologi Kepribadian Dosen Pengampu: Dr. H. Wawan. A. Ridwan, M.Ag Oleh: EvieNurjanah               14121110051 JurusanPAI-B/semester-VI FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI CIREBON TAHUN 2015 M/1437 H KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah yang telah menolong kami menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan NYA mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan tugas mandiri mata kuliah Materi SKI di MA ini akhirnya dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta yakni Nabi Muhammad SAW.         Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang “Kepribadian dalam Pandangan Carl Rogers”. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun ma

Menjadi Pembelajar Sejati demi Mencapai Profesionalitas Guru? Sulitkah? atau Mudah kah?

Menjadi guru profesional memiliki arti bahwa seorang guru harus menjadi pembelajar sejati.  Sekarang ini bukan zamannya seorang guru memiliki perasaan bahwa dirinya adalah yang " TERPINTAR". Hmmm...apabila perasaan tersebut masih ada dalam diri kamu (especially bagi kamu calon pendidik :D ) maka jelas salah dan jangan berharap dulu bisa menjadi pendidik sejati hehe.. Seorang guru haruslah terus belajar untuk mencapai profesionalitasnya, salah satunya yaitu dengan menjadi pembelajar (maksudnya yaitu ia senantiasa menuntut ilmu demi menambah wawasan dan ilmu pengetahuannya) dan senantiasa melakukan perubahan perilaku sejalan dengan tugasnya sebagai pembelajar. Belajarnya seorang guru ini, akan membawa ia tumbuh dan berkembang secara profesional.pertumbuhan dan perkembangan itu bersifat kontinue. Menjadi pembelajar itu sangatlah penting, sehingga hal tersebut harus merupakan agenda pribadi dan terus dijaga agar tetap pada koridornya. Ketika guru menjadi pembelajar, siswa