Skip to main content

Masjid Agung Kasepuhan Sang Cipta Rasa



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Masjid Agung Sang Cipta Rasa adalah masjid agung di kota Cirebon. Masjid tua bersejarah yang dibangun oleh para wali di masa Sunan Gunung Jati memerintah sebagai sultan pertama di Kesultanan Cirebon. Lokasi masjid ini persis di depan komplek Keraton Kasepuhan Cirebon, bersebelahan dengan Alun Alun Keraton Kasepuhan. Baik Masjid maupun Alun Alun-nya masih merupakan wilayah teritorial Keraton Kasepuhan.
Pada awalnya masjid Sang Cipta Rasa Cirebon disebut Masjid Pakungwati karena berada di dalam komplek Keraton Pakungwati (kini Keraton Kasepuhan). Pakungwati diambil dari nama Nyi Mas Pakungwati puteri tunggal Pangeran Cakrabuana (Raden Walang Sungsang) bin Raden Pamanah Rasa (Prabu Siliwangi / Sri Baduga Maharaja / Jaya Dewata). Nyi Mas Pakungwati adalah pewaris tunggal tahta Keraton Caruban Larang, oleh ayahandanya dinikahkan dengan sepupunya sendiri yang tak lain adalah Sunan Gunung Jati yang kemudian naik tahta sebagai Sultan Pertama Kesultanan Cirebon. Beberapa Sumber sejarah juga menyebut Nyi Mas Pakungwati sebagai penggagas pembangunan masjid ini yang kemudian diwujudkan oleh suaminya.
Masjid Agung Sang Cipta Rasa (dikenal juga sebagai Masjid Agung Kasepuhan atau Masjid Agung Cirebon) merupakan masjid tua di kompleks Keraton KasepuhanCirebonJawa BaratIndonesia. masjid ini adalah masjid tertua di Cirebon,sekaligus sebagai salah satu masjid tertua di tanah Jawa dan Indonesia. Dibangun sekitar tahun 1480M atau semasa dengan Wali Songo menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Nama masjid ini diambil dari kata "sang" yang bermakna keagungan, "cipta" yang berarti dibangun, dan "rasa" yang berarti digunakan.

B.     Rumusan Penelitian
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat diambil rumusan penelitiannya sebagai berikut:
1.      Bagaimana sejarah dari masjid Agung Kasepuhan?
2.      Bagaimana arsitektural masjid Agung Kasepuhan Cirebon?
3.      Bagaimana interior dari masjid Agung Kasepuhan Cirebon?
4.      Apa hikayat dari azan pitu, memolo dan masjid berpasangan?
5.      Apa saja tradisi-tradisi yang ada di masjid Agung Kasepuhan Cirebon?
6.      Bagaimana keadaan sumur keramat di masjid Agung Kasepuhan Ciebon?

C.    Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu:
1.      Untuk mengetahui sejarah dari masjid Agung Kasepuhan Cirebon,
2.      Untuk mengetahui bentuk arsitektural dari masjid Agung Kasepuhan Cirebon,
3.      Untuk mengetahui interior masjid Agung Kasepuhan Cirebon,
4.      Untuk mengetahui hikayat azan pitu, memolo, dan masjid berpasangan,
5.      Untuk mengetahui tradisi-tradisi di masjid Agung Kasepuhan Cirebon, dan
6.      Untuk mengetahui sumur keramat di masjid Agung Kasepuhan Cirebon.

D.    Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui serta menambah wawasan mengenai sejarah dibangunnya Masjid Agung Kasepuhan Cirebon atau Masjid Sang Cipta Rasa, serta untuk menambah wawasan mengenai tradisi-tradisi Islam di Masjid Agung Kasepuhan Cirebon.

E.     Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian mengenai Masjid Agung Kasepuhan ini yaitu dengan menggunakan metode wawancara dan dokumentasi.
F.     Waktu Penelitian
Hari     : Sabtu, 04 Oktober 2014
Waktu  : 09.00 WIB

G.    Tempat Penelitian
Lokasi Masjid Agung Sang Ciptarasa yaitu Jalan Keraton Kasepuhan 43,Kelurahan Kesepuhan, Kecamatan LemahwungkukKota Cirebon, Jawa BaratIndonesia. Masjid Agung Sang Cipta Rasa terletak ±100 m sebelah baratlaut dari Keraton Kasepuhan, tepatnya disisi barat alun alun keraton Kesepuhan.

H.    Dokumentasi
1.      Rekaman Audio (Wawancara)
Terlampir.
2.      Gambar Foto
Terlampir.


BAB II
HASIL PENELITIAN

A.    Sejarah Masjid Agung Kasepuhan Cirebon
Nama dari masjid Agung Kasepuhan yaitu Masjid Sang Cipta Rasa. Situs pemerintah propinsi Jawa Barat menyebutkan bahwa : “Mesjid Agung Sang Cipta Rasa dibangun pada tahun 1489 M oleh Wali Sanga atas prakarsa Sunan Gunung Jati. Pembangunannya dipimpin oleh Sunan Kalijaga dengan arsitek Raden Sepat (dari Majapahit) bersama dengan 500 orang pembantunya (tukang) yang berasal dari Demak. Mesjid ini dinamai Sang Cipta Rasa karena merupakan pengejawantahan dari rasa dan kepercayaan.
Penduduk Cirebon pada masa itu menamai mesjid ini Mesjid Pakungwati karena dulu terletak dalam komplek Keraton Pakungwati. Sekarang mesjid ini terletak di depan komplek Keraton Kesepuhan. Menurut cerita rakyat, pembangunan mesjid ini hanya dalam tempo satu malam; pada waktu subuh keesokan harinya telah dipergunakan untuk shalat Subuh”.
Masih menurut situs yang sama, disebutkan bahwa Masjid Sang Cipta Rasa ini menjadi tempat tutup usianya Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati, dalam usia yang sangat tua di tahun 1549. Nama keraton Pakungwati bagi keraton kesultanan Cirebon (kini menjadi keraton Kasepuhan) dinisbatkan kepada dirinya karena memang dibangun oleh Pangeran Cakrabuana, ayahanda beliau yang juga merupakan putra dari Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran.
Adapun Raden Sepat sebelumnya merupakan panglima pasukan Majapahit yang ditugasi memimpin pasukan menyerbu dan menaklukan Kesultanan Demak yang baru berdiri. Penyerbuan yang berahir dengan kekalahan. Beliau dan sisa pasukannya tak pernah kembali ke Majapahit karena memutuskan untuk mengabdi kepada Sultan Demak dan masuk Islam.
Menurut satu riwayat tutur menyebutkan bahwa pembangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa ini merupakan pasangan dari Masjid Agung Demak. Pada waktu pembangunan Masjid Agung Demak, Sunan Gunung Jati memohon ijin untuk membuat pasangannya di Cirebon. Karena merupakan masjid yang sepasang maka, kedua masjid ini memiliki wataknya masing masing. Bila masjid Agung Demak berwatak maskulin dengan tampilannya yang gagah, maka masjid Agung Sang Cipta Rasa ini berwatak feminim.
Diceritakan juga bahwa para wali pada saat masjid ini selesai didirikan berjamaah sholat Maghrib disini dan kemudian Sholat Subuh di Masjid Demak. Sementara versi yang lain bahwa masjid ini dibangun hanya dalam waktu satu malam, karena pada waktu ke esokan harinya sudah dipakai untuk sholat subuh. Sebagai sebuah pasangan disebutkan bahwa pembangunan dua masjid ini dilakukan bersamaan atau setidaknya dalam waktu yang tidak terpaut jauh.
Catatan Keraton Kasepuhan Cirebon, yang mengacu pada candrasengkala, masjid Agung Sang Cipta Rasa dibangun pada “waspada panembahe yuganing ratu”. Kalimat ini bermakna 2241, alias 1422 Saka. Dari catatan tahun Saka tersebut-pun terpaut waktu 21 tahun yang memisahkan pembangunan antara kedua bangunan masjid tua tersebut.
Namun beberapa sejarawan justru memilih tahun 1478 sebagai tahun pembangunan masjid Agung Sang Cipta Rasa bersamaan dengan didirikannya Kesultanan Cirebon dengan Sultan pertamanya Sunan Gunung Jati. Tahun 1478 hanya selisih satu tahun lebih muda bila dibandingkan dengan pembangunan masjid Agung Demak (1477).

B.     Arsitektural Masjid Agung Kasepuhan Cirebon
Masjid Agung Sang Cipta Rasa memiliki tiga gerbang di bagian depannya tapi hanya satu gerbang di sebelah utara (kanan) ini yang paling sering dibuka di hari hari biasa menjelang waktu sholat. Diluar waktu sholat pengunjung harus melewati gerbang belakang dengan melewati jalan setapak di sebelah kanan tembok utara masjid atau lebih ke kanan dari foto di atas.Dari sudut pandang arsitektur, Masid Agung Sang Cipta Rasa ini memang mewakili watak feminin. Tidak seperti masjid-masjid wali pada umumnya yang mempunyai bentuk atap tajug atau limas bersusun dengan jumlah ganjil, Masid Agung Sang Cipta Rasa mempunyai bentuk atap limasan dan diatasnya tidak dipasang momolo (mahkota masjid). Bisa jadi inipun juga perlambang dari sifat feminin-nya. Bentuk konstruksi secara keseluruhan-pun terlihat lebih pendek dibandingkan dengan Masjid Agung Demak yang kelihatan tinggi dan gagah.
Bangunan utama masjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon dibangun dalam bentuk atap bersusun tiga meski tidak berbentuk piramida (prisma) seperti Masjid Agung Demak. Makna mendalam terselip dalam susunan atap yang bersusun tiga ini. kepercayaan lama ditanah air memaknainya sebagai tiga tahapan kehidupan manusia mulai dari kehidupan di dalam Kandungan, di alam dunia dan di alam setelah kematian. Sedangkan dalam makna Islami diterjemahkan sebagai Iman, Islam dan Ikhsan.
Selain bentuk atap limas bersusun, di masjid ini juga menyerap bentuk punden berundak pada pagar batanya yang mengitari kawasan masjid. Menilik jauh ke belakang, kamus besar bahasa Indonesia memaknai punden berundak ini sebagai “bangunan pemujaan tradisi megalitikum yg bentuknya persegi empat dan tersusun bertingkat-tingkat”. Dan nyatanya makna tersebut tak bergeser hingga kini meski dalam kontek yang berbeda.
Bentuk Gerbang paduraksa dimasjid agung Cirebon, digunakan pada tiga gerbangnya termasuk gerbang utama. Bentuk gerbang seperti ini merupakan warisan budaya sebelum Islam. Selain itu tiga gerbang depan masjid Agung Sang Cipta Rasa ini mengadopsi bentuk gerbang Paduraksa yang biasa digunakan pada bangunan bangunan candi, dengan berbagai modifikasi, namun ornamen punden berundak tak hilang dari gerbang ini, termasuk ornamen yang ditempelkan menjadi penghias gerbang dan pintu besarnya.

C.    Interior Masjid Agung Kasepuhan Cirebon
Masjid Agung Kasepuhan memiliki keunikan tersendiri diantaranya yaitu di dalam ruangan utama banyak tiang-tiang kayu. Di atas dinding bata, berjejerlah kaligrafi lukisan kaca dengan aneka ayat-ayat Al Quran. Lukisan kaca memang salah satu seni lukis khas Cirebon. Semua tiang tersebut terbuat dari kayu jati dengan diameter sekitar 60cm dan tinggi mencapai 14 meter. Seluruh dua belas sokoguru utama di dalam Masjid Agung Sang Cipta Rasa sudah di topang dengan besi baja untuk menjaga keutuhan struktur kayu bangunan masjid tua ini. Hal tersebut dilakukan sebagai bagian dari upaya pelestarian.
Salah satu tiang yang terkenal di masjid ini disebut Saka Tatal, di sudut selatan teras masjid yang asli. Bisa dibilang ini adalah ciri khas Sunan Kalijaga dalam membangun masjidnya. Dia menyambung potongan-potongan tiang (tatal) dan mengikatnya dengan lempeng besi menjadi satu tiang baru. Saka Tatal mengandung filosofi sebagai berikut
  1. Jangan bercerai berai, berpegang teguh kepada Allah SWT dan Al-Qur’an
  2. Orang-orang yang rusak masih bisa dirangkul untuk menuju jalan kebaikan.
  3. Hidup harus ada manfaatnya
Dalam masjid tersebut terdapat 74 tiang bulat yang terbuat dari kayu jati. Mengingat usianya yang sudah sangat tua, seluruh sokoguru di dalam masjid ini sudah ditopang dengan rangkaian besi baja untuk mengurangi beban dari masing masing pilar tersebut, hanya saja kehadiran besi besi baja tersebut sedikit mengurangi estetika. Keseluruhan sokoguru masjid ini berdiri di atas umpak batu kali. Umpak pada tiang-tiang utama berbentuk bulat dan di bagian serambi berbentuk kotak.
Rangkaian rumit saling silang pasangan kayu konstruksi di dalam masjid ini benar benar melemparkan kita ke masa lalu mengingat teramat sulit untuk menemukan bangunan baru dengan rancangan yang serupa. Atap puncak masjid (wuwungan) ditopang oleh dua sokoguru paling tengah. Dan diantara dua sokoguru ini yang menjadi titik tengah bangunan utama sekaligus menjadi titik berdirinya muazin saat mengumandangkan azan termasuk azan pitu (azan tujuh) saat sholat Jum’at.
Di dalam Masjid Agung Sang Cipta Rasa ada dua Maksurah. Satu maksurah ditempatkan di shaf paling depan bersebelahan dengan mimbar, satu maksurah lagi ditempatkan pada shaf paling belakang disebelah kiri pintu masuk utama. Layaknya sebuah masjid kerajaan, di masjid Agung Sang Cipta Rasa ini juga disediakan tempat sholat khusus bagi keluarga kerajaan atau Maksurah berupa area yang dipagar dengan pagar kayu berukir. Ada dua Maksurah di dalam masjid ini. satu maksurah di shaf paling depan sebelah kanan mihrab dan mimbar diperuntukkan bagi Sultan dan Keluarga keraton Kasepuhan. Serta satu Maksurah di shaf paling belakang disamping kiri pintu utama diperuntukkan bagi Sultan dan keluarga keraton Kanoman.
Maksurah, banyak ditemui di masjid masjid tua Arabia, Afrika Utara hingga wilayah wilayah bekas kekuasaan emperium Turki Usmani. Fungsi awalnya adalah sebagai perlindungan bagi Sultan dan pejabat tinggi kerajaan selama melaksanakan sholat di masjid dari kemungkinan serangan fisik terhadap petinggi kerajaan. Di dalam maksurah ini pada masanya juga dilengkapi dengan senjata ringan pembelaan diri seperti tombak dan lainnya.
Ada dua mimbar di dalam masjid ini yang bentuk dan ukurannya sama persis. Mimbar yang kini dipakai merupakan mimbar pengganti, disebelah kanan mimbar ini terdapat maksurah dan disebelah kanan maksurah mimbar lamanya ditempatkan. Pada bagian kaki mimbarnya ada bentuk seperti kepala macan, mengingatkan pada kejayaan Prabu Siliwangi raja Padjajaran yang tak lain adalah Kakek dari Sunan Gunung Jati dari garis Ibu.
Menjadi lebih menarik manakala kita masuk ke dalam bangunan masjid ini. nyaris tak ada ornamen Islami seperti yang biasa kita temukan di dalam sebuah bangunan masjid bergaya Arabia. Mihrab dan mimbar di masjid ini sepi dari ukiran ayat ayat suci Al-Qur’an. Mihrab nya sendiri dibangun dari batu batu pualam berukuran floral, yang berpusat pada bentuk yang menyerupai bunga matahari pada bagian puncak mihrab.
Adanya bentuk bunga matahari di mihrab masjid ini mengingatkan kita pada bentuk Surya Majapahit yang merupakan lambang kebesaran Kerajaan Majapahit. Memang tak mengerankan, karena konon memang proses pembangunan masjid ini turut melibatkan Raden Sepat yang tak lain adalah panglima pasukan Majapahit yang kalah perang dalam serangannya ke Demak di masa kekuasaan Raden Fatah dan kemudian memeluk Islam.
Maka wajar bila kemudian ada banyak kemiripan antara Masjid Agung Demak dengan Masjid Sang Cipta Rasa ini termasuk Masjid Agung Banten di Banten Lama, provinsi Banten karena memang melibatkan orang yang sama dalam proses pembangunannya. Sampai sejauh ini belum ditemukan catatan tentang Raden Sepat dan sisa pasukannya yang dibawa ke Cirebon termasuk dimana beliau dimakamkan.
Seluruh bagian mihrab masjid ini menggunakan batu pualam putih. Selain ukiran floral dibagian atas mihrab, juga terdapat dua pilar pualam disisi kiri dan kanannya. Konon pilar ini di ukir oleh Sunan Kali Jaga dalam bentuk kelopak bunga teratai. Selain ukiran floral di sisi kiri dan kanan bagian depan mihrab ini terdapat ukiran geometris yang sangat menarik serupa dengan ukiran pada dinding depan masjid. Di bagian mihrab juga terdapat tiga buah ubin bertanda khusus yang melambangkan tiga ajaran pokok agama, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Ubin tersebut dipasang oleh Sunan Gunung JatiSunan Bonang, dan Sunan Kalijaga pada awal berdirinya masjid.
Bangunan utama (asli) Masjid Agung Sang Cipta Rasa memiliki Sembilan Pintu menyimbolkan Sembilan Wali (Wali Songo) yang turut berkontribusi aktif dalam proses pembangunannya. Pintu utama nya berada di sisi timur sejajar dengan mihrab, namun pintu utama ini nyaris tak pernah dibuka kecuali pada saat sholat Jum’at, sholat hari raya dan peringatan hari hari besar Islam. Delapan pintu lainnya ditempatkan di sisi utara dan selatan (kanan dan kiri) bangunan utama dengan ukuran sangat kecil dibandingkan ukuran normal sebuah pintu.
Pada hari biasa hanya ada satu pintu yang senantiasa dibuka oleh pengurus masjid yakni satu pintu di sisi kanan bangunan. Seluruh delapan pintu samping masjid ini sengaja dibuat dalam ukuran kecil dan sempit memaksa setiap orang dewasa untuk menunduk saat akan masuk ke dalam masjid, meyimbolkan penghormatan dan merendahkan diri dan hati manakala memasuki masjid.
Delapan pintu samping ini juga dilengkapi dengan daun pintu yang ukurannya juga kecil yang  sepi dari ukuran. Berbeda dengan pintu utamanya yang berukuran besar dan penuh dengan ukiran yang sangat indah. Ruang dalam masjid ini juga tidak digunakan untuk sholat berjamaah lima waktu. Pelaksanaan sholat lima waktu dilaksanakan di pendopo depan. Sebuah partisi berukir dari kayu jati di sisi depan area pendopo sebagai penanda tempat bagi imam.
Tembok bangunan utama Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon dibangun dari susunan bata merah yang sama sekali tidak diplester, namun memiliki ketebalan hampir 70cm. Menurut penuturan Bapak Ahmad, tembok-tembok tersebut disusun dengan menggunakan putih telur. Tembok ini hanya dibangun setengah saja tidak sampai ke atap, bagian atasnya dibiarkan terbuka sebagai ventilasi udara dan cahaya.
Namun kehadiran dinding kaca dan anyaman kawat tersebut justru menghilangkan salah satu ciri khas masjid ini yang memang dirancang terbuka sebagai sebuah bangunan tropis. Ditambah lagi dengan bentuk ornamen kaligrafi yang digunakan untuk menghias dinding kaca tersebut tak senada dengan arsitektural keseluruhan bangunan asli. Ditambah lagi dengan konsekwensi rusaknya sirkulasi udara hingga harus dikonpensasi dengan pemasangan beberapa kipas angin di bagian dalam.

D.    Hikayat Azan Pitu, Memolo Dan Masjid Berpasangan
Azan Pitu atau azan tujuh adalah tradisi azan di Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon yang dilantunkan oleh tujuh orang muazin sekaligus. Biasanya azan ini dilantunkan saat jelang sholat subuh dan sholat Jum’at. Selain azan pitu, di Cirebon juga mengenal azan awal sebelum sholat subuh sebagai pengingat bagi kaum muslimin bahwa waktu subuh akan segera tiba supaya bersiap diri.
Azan pitu pada mulanya dilaksanakan atas perintah dari Sunan Gunung Jati untuk memusnahkan pengaruh sihir yang ditebarkan oleh Menjangan Wulung terhadap jemaah yang akan masuk ke masjid Sang Cipta Rasa Cirebon untuk melaksanakan sholat subuh. Disebutkan bahwa pada suatu masa ketika Islam baru menunjukkan perkembangan yang baik di wilayah Cirebon, beberapa orang yang keberatan dengan hal tersebut berupaya menebar teror.
Sosok Menjangan Wulung sendiri menurut beberapa sumber merupakan sosok ghaib yang di utus oleh seseorang ke Masjid Agung Cirebon untuk menebar terror. Korban pertamanya adalah muazin yang akan mengumandangkan azan subuh di masjid ini yang mendadak tewas secara misterius. Mengakibatkan ketakutan yang luar biasa bagi jemaah lainnya yang akan masuk ke masjid ini. Amukan Menjangan wulung ini juga mengakibatkan atap masjid yang masih terbuat dari rumbia mengalami kebakaran hebat.
Berbagai upaya dilakukan untuk memadamkan api, namun selalu gagal. Sampai akhirnya istri Sunan Gunungjati Nyi Mas Pakungwati menyarankan agar dikumandangkan azan. Namun api belum juga padam. Azan kembali dikumandangkan oleh dua orang sampai berturut-turut tiga orang sampai enam orang, namun api belum juga padam. Konon api baru padam setelah azan dikumandangkan oleh tujuh orang muazin, atas perintah dari Sunan Gunung Jati berdasarkan petunjuk Ilahi.
Menjangan Wulung berhasil ditaklukkan, konon dia melarikan diri ke arah Banten dan tak pernah kembali. Masih dalam kaitan dengan hikayat ini disebutkan juga bahwa menjangan wulung juga menghantam memolo yang ada di puncak masjid hingga terpental jauh. Ada juga yang menyebut bahwa memolo (mastaka / ornament hiasan berbentuk simbar dipuncak masjid) tersebut hancur akibat ledakan yang terjadi saat aksi Menjangan Wulung tersebut.
Namun satu hikayat yang senantiasa dituturkan oleh pemandu wisata di Masjid ini bahwa memolo tersebut terpental hingga ke Masjid Agung Banten. Dan itu sebabnya Masjid Agung Banten memiliki dua memolo sedangkan Masjid Agung Cirebon tanpa memolo sama sekali. Cerita terahir tersebut memiliki penafsiran yang bermacam macam.
Pertama bahwa masjid Agung Banten dibangun jauh setelah berdirinya Masjid Agung Cirebon. Bila kita merujuk kepada tahun wafatnya Ratu Dewi Pakungwati yakni tahun 1549 sebagai tahun terjadinya huru hara Menjangan Wulung, artinya  meski memolo tersebut memang terpental jauh hingga ke Banten, tidak serta merta langsung bertengger di Masjid Agung Banten tapi butuh setidaknya tiga tahun bagi siapapun disana untuk memungut memolo tersebut dan memasangnya ke Masjid Agung Banten yang baru dibangun tiga tahun kemudian (1552-1570).
Sedangkan dari sudut pandang arsitektural, Masjid Agung Cipta Rasa disebutkan sebagai pasangan dari Masjid Agung Demak. Bila Masjid Agung Demak dibangun dalam watak Maskulin lengkap dengan memolo dan berdiri gagah, lain halnya dengan masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon yang dibangun dalam watak Fenimim dengan denah persegi panjang, boleh jadi sejak awal masjid ini memang dibangun tanpa memolo sebagai perwujudan dari kefemeninimannya.
Namun demikian, tradisi azan pitu ini tetap dilestarikan di Masjid Agung Cirebon ini. sebagai sebuah tradisi yang merupakan satu satunya masjid dengan tradisi yang amat unik dan langka ini. Azan pitu dilantunkan oleh tujuh orang muazin sekaligus dengan pakaian putih putih kadang dilengkapi dengan jubah. Mereka bertujuh berjejer di tengah tengah bangunan asli tepat dibawah wuwungan atap masjid.
Masih mengenai memolo, versi lain menyebutkan bahwa memolo tersebut hancur karena secara tidak sengaja terkena lemparan tongkat Panebahan Satu pada saat Cirebon dilanda wabah penyakit yang konon datang secara ghaib. Panebahan Ratu adalah Raja ke empat Kesultanan Cirebon, beliau adalah cicit dari Sunan Gunung Jati.
Bila diperhatikan masjid masjid tua di tanah Jawa termasuk Masjid Agung Demak, Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon, Saka Tunggal di Banyumas, Sunan Ampel di Surabaya dan lainnya, selalu saja dibangun tanpa menara. Meski dari sisi tradisi arsitektural tanah air, ketiadaan menara ini sudah menjadi pakem bagi masjid tradisional Indonesia namun dibalik semua itu ada makna filosofis yang mendalam.
Ketiadaan menara pada bangunan masjid masjid tua tersebut kait mengait dengan tradisi tanah jawa yang menjungjung tinggi ewuh pakewuh. Keberadaan menara yang memang pada masa awalnya merupakan tempat muazin mengumandangkan azan akan memposisikan muazin yang berada di menara lebih tinggi dari seluruh jemaah yang ada di dalam masjid termasuk Raja dan para petinggi kerajaan lainnya. Hal tersebut dianggap tidak sopan.
Karenanya masjid masjid tua tanah Jawa hampir seluruhnya tidak dilengkapi dengan menara. Menara di Masjid Agung Demak pun dibangun belakangan bukan merupakan komponen asli yang dibangun sejak awal pembangunan masjid. Seiring dengan telah dikembangkannya perangkat pengeras suara, muazin tak perlu lagi menaiki menara pada saat akan mengumandangkan azan cukup pengeras suaranya yang disimpan di menara sedangkan azannya dilantunkan muazin dari dalam masjid.

E.     Tradisi Tradisi di Masjid Agung Sang Ciptarasa
Seperti halnya masjid masjid tua serta merupakan masjid keraton kesultanan. Masjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon ini juga memiliki beberapa tradisi yang sudah dilaksanakan secara turun temurun tanpa terputus sejak awal pembangunannya hingga kini. Diantara tradisi tradisi tersebut merupakan tradisi unik dan hanya ada di masjid ini. Terutama adalah tradisi Azan Pitu atau azan adalah azan yang dikumandangkan oleh tujuh orang muazin sekaligus. Tradisi ini bermula sejak awal berdirinya masjid Agung Sang Ciptarasa dan sejak awal berkembangnya Islam di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Azan pitu pada awalnya dilakanakan atas perintah langsung dari Sunan Gunung Jati untuk mengatasi serangan ghaib dari Menjangan wulung yang menyebar terror di masjid ini sehingga menyebabkan tewasnya beberapa muazin serta menyebabkan kebakaran di masjid ini. 
Kemungkinan besar peristiwa tersebut terjadi di tahun 1549 masehi. Tahun tersebut merupakan tahun wafatnya Dewi Pakungwati, permaisuri Sunan Gunung Jati yang wafat di masjid ini. Beberapa sumber menyebutkan beliau wafat dalam usia yang sanga tua di dalam masjid ini setelah turut serta dalam upaya memadamkan kebakaran yang terjadi di masjid ini.
Tradisi yang tak kalah uniknya dari masjid ini adalah sampai saat ini khotbah Jum'at selalu dibawakan dengan menggunakan bahasa Arab. Dan meski hampir semua jama'ah tak memahami artinya jamaah tetap menyimaknya dengan khusu tanpa mengobrol dengan rekan disebelahnya. Tujuan dari tetap dilestarikannya khotbah berbahasa Arab ini sendiri konon untuk memotivasi jamaahnya agar mau belajar bahasa Arab.
Pada setiap sholat Jum'at yang kebetulan jatuh pada hari pasaran kliwon, banyak jemaah perempuan yang ikut sholat Jum'at di Masjid Sang Cipta Rasa Cirebon ini dengan satu keyakinan bahwa bila mereka ikut sholat Jum'at yang jatuh tepat pada hari Jum'at Kliwon maka yang bersangkutan akan memperoleh berkah. Atas dasar keyakinan itulah, pada Jum'at Kliwon banyak jemaah perempuan yang datang tidak hanya dari daerah Cirebon tapi juga banyak yang datang dari luar kota untuk ikut bersholat Jum'at di Masjid ini.

F.     Sumur Keramat
Di beranda samping kanan (utara) masjid, terdapat sumur zam-zam atau Banyu Cis Sang Cipta Rasa, menurut penuturan bapak Ahmad, sumur ini merupakan tempa berwudhunya para wali. Sumur ini ramai dikunjungi orang, terutama pada bulan Ramadhan. Selain diyakini berkhasiat untuk mengobati berbagai penyakit, sumur yang terdiri dari dua kolam ini juga dapat digunakan untuk menguji kejujuran seseorang.
Beberapa jamaah masjid ini datang jauh jauh dari berbagai daerah selain untuk sholat di masjid ini juga untuk mengambil air dari sumur tersebut. Dua kolam dari batu bundar ini dulunya berada di luar bangunan utama namun kini sudah berada di dalam pandopo utara. Disekitar kolamnya juga sudah di kelilingi dengan pagar besi. Menariknya air dari sumur ini dipercaya juga dapat digunakan sebagai media untuk menguji kejujuran seseorang. Air sumur ini bisa langsung dapat diminum dan telah di uji di ITB, hasilnya pun aman untuk langsung diminum.


Gambar pintu gerbang utama Masjid Agung Kasepuhan
Gambar pelataran Masjid Agung Kasepuhan
Gambar ukiran arab
Gambar Soko Tatal
Gambar mimbar baru
Gambar mimbar lama
Gambar tempat adzan pitu
Gambar Mihrab
Gambar maksurah tempat Sultan Kanoman shalat
Gambar maksurah tempat Sultan Kasepuhan Shalat
Gambar Sumur Banyu Cis Sang Cipta Rasa



BAB III
KESIMPULAN


            Masjid Agung Kasepuhan atau disebut dengan Masjid Sang Cipta Rasa merupakan masjid yang berada di komplek keraton Kasepuhan. Masjid ini dibangun pada tahun 1489 M, oleh wali sanga atas prakarsa Sunan Gunung Jati, dengan arsiteknya yaitu Raden Sepat dari kerajaan Majapahit.
            Masjid ini memiliki 12 soko guru, dan satu soko yang terkenal yaitu soko tatal, yang merupakan buatan Sunan Kalijaga. Soko tersebut dinamakan soko tatal karena soko tersebut di buat dari serpihan sisa-sisa kayu jati. Soko tatal ini memiliki filosofi yaitu:
1.      Jangan bercerai berai, berpegang teguh kepada Allah SWT dan Al-Qur’an
  1. Orang-orang yang rusak masih bisa dirangkul untuk menuju jalan kebaikan.
  2. Hidup harus ada manfaatnya.
Hal unik yang etrdapat dalam masjid ini yaitu adanya adzan dengan tujuh muadzin atau yang sering disebut dengan azan pitu. Banyak persepsi mengenai sejarah dari azan pitu ini, salah satunya yaitu azan pitu tersebut dilakukan karena Azan pitu pada mulanya dilaksanakan atas perintah dari Sunan Gunung Jati untuk memusnahkan pengaruh sihir yang ditebarkan oleh Menjangan Wulung terhadap jemaah yang akan masuk ke masjid Sang Cipta Rasa Cirebon untuk melaksanakan sholat subuh.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Makalah Riba, Bank, Asuransi

BAB I PENDAHULUAN A.      Latar Belakang Fiqih merupakan bidang ilmu yang membahas tentang hukum-hukum amaliyyah mustanbathah (praktis) yang diambil dari dalil-dalilnya secara terinci. Adapun fiqih muamalah adalah salah satu dari cabang fiqih, yang mana di dalamnya mengatur hubungan antara satu individu dengan individu lain, atau antara individu dengan negara Islam, dan negara Islam dengan negara lain. Adapun dalam pembahasan kali ini akan dibahas mengenai riba, bank dan asuransi, dimana ketiganya merupakan bagian dari fiqih muamalah. Riba, bank dan asuransi merupakan sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan perekonomian di suatu negara, termasuk di Indonesia. Ketiganya sudah tak asing lagi di telinga masyarakat. Riba merupakan bentuk suatu penambahan dari pembayaran yang telah jatuh tempo. Banyak orang yang menyamakan riba dengan kegiatan jual beli. Anggapan tersebut jelaslah salah, karena keduanya memiliki perbedaan yang sangat mencolok yang dapat dilihat dari aktiv

Theory of Personality's Carl Rogers

KEPRIBADIAN DALAM PANDANGAN CARL ROGERS Disusun untuk Memenuhi Tugas Mandiri Mata Kuliah: Psikologi Kepribadian Dosen Pengampu: Dr. H. Wawan. A. Ridwan, M.Ag Oleh: EvieNurjanah               14121110051 JurusanPAI-B/semester-VI FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI CIREBON TAHUN 2015 M/1437 H KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah yang telah menolong kami menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan NYA mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan tugas mandiri mata kuliah Materi SKI di MA ini akhirnya dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta yakni Nabi Muhammad SAW.         Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang “Kepribadian dalam Pandangan Carl Rogers”. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun ma

Menjadi Pembelajar Sejati demi Mencapai Profesionalitas Guru? Sulitkah? atau Mudah kah?

Menjadi guru profesional memiliki arti bahwa seorang guru harus menjadi pembelajar sejati.  Sekarang ini bukan zamannya seorang guru memiliki perasaan bahwa dirinya adalah yang " TERPINTAR". Hmmm...apabila perasaan tersebut masih ada dalam diri kamu (especially bagi kamu calon pendidik :D ) maka jelas salah dan jangan berharap dulu bisa menjadi pendidik sejati hehe.. Seorang guru haruslah terus belajar untuk mencapai profesionalitasnya, salah satunya yaitu dengan menjadi pembelajar (maksudnya yaitu ia senantiasa menuntut ilmu demi menambah wawasan dan ilmu pengetahuannya) dan senantiasa melakukan perubahan perilaku sejalan dengan tugasnya sebagai pembelajar. Belajarnya seorang guru ini, akan membawa ia tumbuh dan berkembang secara profesional.pertumbuhan dan perkembangan itu bersifat kontinue. Menjadi pembelajar itu sangatlah penting, sehingga hal tersebut harus merupakan agenda pribadi dan terus dijaga agar tetap pada koridornya. Ketika guru menjadi pembelajar, siswa