BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semua
manusia pasti akan mati, namun tidak akan pernah diketahui kapan kematian itu
datang. Karena hal itu hanya Allah yang mengetahuinya. Manusia merupakan
makhluk sebaik-baik ciptaan Allah swt dan ditempatkan pada derajat yang tinggi.
Sehingga ketika meninggal pun Islam sangat memperhatikan dan menghormati
orang-orang yang meninggal.
Melakukan
Ta’ziyah termasuk dalam hal ibadah. Ta’ziyah tidak dapat dipisah dari
permasalahan jenazah. Sehingga para ulama pun telah banyak membahas
permasalahan ta’ziyah ini. Selain itu, ta’ziyah pun berhubungan dengan kegiatan
sosial sesama manusia. Karena didalamnya terdapat nilai tolong menolong.
Ta’ziyah
dilakukan sebagai bentuk belasungkawa kita kepada pihak yang tengah berduka.
Kita harus berusaha memberikan ketenangan kepada pihak yang tengah berduka,
berusaha menghibur, dan mendo’akan mayit serta keluarga yang ditinggalkan agar
senantiasa Allah SWT beri kesabaran kepada mereka.
Terdapat
nilai-nilai lain dan hal-hal yang harus diperhatikan dalam berta’ziyah. Oleh
karena itu, pada makalah ini akan dibahas mengenai pengertian ta’ziyah, hukum
berta’ziyah, lafadz ta’ziyah, duduk sewaktu ta’ziyah dan keutamaan-keutamaan
dalam ta’ziyah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang diatas, maka rumusan masalah yang dapat di ambil yaitu sebagai
berikut:
1. Apa
pengertian ta’ziyah?
2. Apa
hukum ta’ziyah?
3. Bagaimana
lafadz dalam berta’ziyah?
4. Seperti
apa duduk sewaktu berkumpul dalam ta’ziyah?
5. Apa
saja keutamaan-keutamaan dari ta’ziyah?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembahasan ini yaitu
sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui pengertian ta’ziyah,
2. Untuk
mengetahui hukum dari ta’ziyah,
3. Untuk
mengetahui lafadz dalam berta’ziyah,
4. Untuk
mengetahui adab duduk saat berkumpul dalam ta’ziyah, dan
5. Untuk
mengetahui keutamaan-keutamaan dari ta’ziyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Takziyah
Takziyah asal katanya azza, artinya sabar. Oleh karena itu, takziyah berarti menyabarkan
dan menghibur orang yang ditimpa musibah dengan menyebutkan hal-hal yang dapat
menghapus duka dan meringankan penderitaannya.[1]
Dalam konteks muamalah Islam, takziyah adalah
mendatangi keluarga orang yang meninggal dunia dengan maksud menyabarkannya
dengan ungkapan-ungkapan yang dapat menenangkan perasaan dan menghilangkan
kesedihan.[2]
Orang yang melakukan takziyah adalah mereka yang
mampu merasakan kesedihan atau duka yang dialami saudaranya. Hal ini jelas
termasuk dalam kategori amar ma’ruf nahi
munkae yang merupakan salah satu pundamen ajaran Islam. Lebih dari itu
takziyah adalah aplikasi dari sikap tolong menolong dan bekerja sama dalam
kebaikan dan ketakwaan.[3]
Ta’ziyah adalah tashbir, anjuran untuk bersabar dan
mengucapkan kata-kata yang menghibur, mengurangi kesedihan dan meringankan
musibah dari keluarga mayit.[4]
Ta’ziyah termasuk kedalam firman Allah Swt:
“...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah sangat berat siksanya”. (Al-Maidah:2)[5]
Takziyah
adalah perintah untuk bersabar. Kata “Aku bertakziyah pada seseorang.”
Berarti aku menyuruhnya bersabar. Kata
“Al-Aza” adalah kata benda (isim) yang diposisikan sama seperti takziyah. Hal ini sebagaimana yang
dikemukakan oleh An-Nawawi. Al-Azhari berkata,” Asal kata Takziyah adalah
memerintahkan seseorang untuk bersabar atas musibah yang menimpanya.”[6]
Adapun pendapat lain yaitu takziyah adalah
memberikan hiburan dengan mengakatan,” Bersabarlah dengan kesabaranAllah Swt.”
Yang dimaksud dengan kesabaran Allah Swt yaitu firman-Nya (QS. Al-Baqarah :
156). Makna “bersabarlah dengan kesabaran Allah Swt” adalah bersabarlah dengan
pemberian kesabaran yang dilimpahkan Allah Swt, sebagaimana yang disebutkan
dalam kitab-Nya dengan dikatakan,”Engkau memiliki teladan pada diri si fulan,
teman dekatnya telah tiada, ia pun bersikap baik dan bersabar”.[7]
Takziyah dapat dilakukan saat seseorang meninggal
dunia di kediamannya, di masjid, di jalan pekuburan, setelah dikuburkan, atau
kapan saja. Hal tersebut adalah baik.[8]
B.
Hukum
Takziyah
Takziyah
hukumnya sunnah walau terdapat dzimmi sekalipun. Hal ini berdasarkan hadits
yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Baihaqi dari Amar bin Hazam dengan sanad
yang hasan. Bahwa Nabi saw. Bersabda:
“Tidak seorang mukmin
pun yang datang bertakziyah kepada saudaranya yang ditimpa musibah, kecuali
akan diberi pakaian kebesaran oleh Allah pada hari Kiamat.”
Takziyah disunnahkan hanya satu kali.
Takziyah mesti dilakukan terhadap seluruh kerabat mayat, besar maupun kecil,
laki-laki dan wanita, baik sebelum dikuburkan maupun sesudahnya, hingga tiga
hari setelah wafatnya. Kecuali bila yang akan berkunjung atau yang hendak
dikunjungi ia sedang bepergian, maka tidak mengapa nelakukannya setelah
lewatnya waktu tersebut.[9]
Sebagian ulama berpendapat bahwa makruh
hukumnya berta’ziyah jika sudah lewat
tiga hari. Sebab, tujuan dari ta’ziyah yaitu menenangkan hati orang yang
ditimpa musibah. Biasanya hati seseorang itu akan tenang setelah lewat dari
tiga hari. Karena itu, tidak perlu diingatkan akan kesedihannya (dengan
didatangi untuk berta’ziyah).
Abul Abbas seorang ulama madzhab Syafi’i berpendapat
bahwa tidak mengapa melakukan ta’ziyah sesudah lewat tiga hari. Bahkan a’ziyah
itu berlaku untuk selamanya, meski masa telah berlaku.
Imam An-Nawawiy berkata,” Pendapat yang tepat yaitu
bahwa ta’ziyah itu tidaklah dilakukan setelah lewat tiga hari, kecuali dalam
dua keadaan seperti yang diucapkan oleh ulama madzhab ini (Syafi’i), yaitu
apabila orang yang akan dita’ziyahi atau orang yang ditimpa musibah tidak ada
(belum datang) pada waktu pemakaman dan baru datang sesudah lewat tiga hari.
Ta’ziyah setelah pemakaman itu lebih utama daripada sebelumnya. Sebab keluarga
si mayit sedang sibuk mempersiapkan pemakamannya, dan bahkan kedukaan mereka. [10]
Melakukan takziyah pada keluarga yang tengah berduka
menurut Sufyan Ats-Tsauri yaitu takziyah setelah mayat dikubur tidaklah
dianjurkan karena masalah ini telah selesai dengan dikuburkannya mayat. Diriwayatkan
dari Abdullah bin Abu Bakar bin Muhammad
bin Amru bin Hazm dari ayahnya, dari kakeknya dari Nabi saw, tuturnya “Tidaklah
seorang mukmin yang melayat saudaranya karena kemaksiatan melainkan Allah Azza
wa Jalla akan mengenakannya mutiara kehormatan pada hari kiamat.” (HR. Inmu
Majah).[11]
C.
Lafadz
dalam Bertakziyah
Takziyah
boleh diucapkan dengan kata-kata apapun yang dapat meringankan musibah dan menghibur
serta menyenangkan hati dan mendorongnya untuk ridha, ikhlas dan mengharapkan
pahala di sisi Allah di balik musibah tersebut, serta percaya secara penuh
bahwa sesungguhnya Allah tidak akan mengingkari janji. Jika seseorang
menggunakan kata-kata yang biasa dipakai Nabi saw., maka lebih utama.[12]
Diriwayatkan
dari Bukhari dari Usamah bin Zaid ra.
“Aku kirim putri Nabi
saw., untuk menemuinya dan menyampaikan bahwa putraku telah meninggal serta
mengharapnya agar datang. Maka Nabi pun mengirim orang untuk menyampaikan salam
serta mengucapkan ‘Milik Allah apa yang diambil-Nya dan milik-Nya pula apa yang
diberikan-Nya, dan segala sesuatu pada-Nya memiliki jangka waktu tertentu. Dari
itu hendaklah engkau bersabar dan menabahkan hati.”
Diriwayatkan oleh Thabrani, Hakim, dan Ibnu
Mardawaih dari Mu’adz bin Jabal ra., dengan sanad yang didalamnya terdapat
seseorang yang lemah, bahwa Mu’adz kematian anak laki-lakinya, maka Rasulullah
saw., pun menulis surat kepadanya sebagai takziyah, berbunyi “ Bismillahirrahmanirrahim.
Dari Muhammad Rasulullah kepada Mu’adz bin Jabal, semoga keselamatan terlimpah
atasmu! Dan aku pujikan Allah kepadamu yakni Yang Maha Esa yang tiada Tuhan
selain Dia. Amma Ba’du. Semoga Allah
memberimu pahala yang besar dan mengilhamimu sifat sabar serta mengaruniai kita
semua rasa syukur. Karena baik jiwa, harta maupun keluarga kita, itu adalah
sebagian dari pemberian Allah yang nikmat dan titipan yang dipertaruhkan-Nya.
Diserahkan-Nya kepada kita agar kita menikmatinya dengan gembira dan
ditarik-Nya kembali dengan imbalan diberi-Nya pahala, dilimpahi-Nya karunia,
rahmat dan petunjuk-Nya.
Diriwayatkan pula dalam musnadnya oleh
Syafi’i dari Ja’far bin Muhammad yang diterimanya dari bapaknya yang
menerimanya pula dari kakeknya bahwa ketika Rasulullah saw., wafat dan datang
masanya orang bertakziyah, tiba-tiba mereka mendengar suara orang berkata, “
sesungguhnya Allah itu menjadi penghibur bagi segala musibah, pengganti bagi
yang rusak, dan menyusul bagi yang luput. Karena itu teguhkanlah kepercayaan
kepada Allah dan mengharaplah selalu kepada-Nya, karena yang sebenarnya
mendapat musibah adalah yang tidak memperoleh peluang buat mendapatkan pahala.”
(sanadnya lemah).
Beberapa ulama berkata,” jika seorang muslim
bertakziyah kepada muslim lainnya, hendaknya ia mengucapkan,’Semoga Allah
memberimu pahala yang besar dan menghibur hatimu sebaik-baiknya, serta memberi
keampunan bagi keluargamu yang meninggal.”
Jika
seorang muslim bertakziyah kepada muslim, maka yang diucapkannya adalah “Semoga
Allah menghibur hatimu sebaik-baiknya, dan mengampuni keluargamu yang
meninggal.”
Seandainya
yang bertakziyah itu orang kafir kepada sesamanya, yang diucapkannya adalah
“Semoga Allah akan memberikan gantinya bagimu.”
Adapun
jawaban takziyah itu adalah mengucapkan amin dari pihak yang dikunjunginya dan
mengiringinya dengan “Semoga Allah memberimu pahala.”
Menurut
Ahmad, jika ia mau, ia dapat menyalami orang yang bertakziyah dan jika tidak,
juga tidak mengapa. Seandainya seseorang melihat orang yang ditimpa musibah itu
merobek pakaiannya, hendaknya ia tetap kunjungannya diteruskan. Hendaknya ia
tidak menghentikan kewajiban itu karena adanya kebatilan. Bahkan bila ia dapat
mencegahnya, maka itu baik sekali.[13]
Imam Ahmad memiliki dua pendapat
mengenai menjenguk orang sakit kepada kalangan kafir dzimmi yaitu:
1. Boleh
dijenguk, ini berdasarkan riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah pernah
menjenguk seorang anak orang Yahudi yang sedang sakit. Anak tersebut pernah
menjadi pembantu Nabi Saw, duduk di dekat kepalanya seraya bersabda,”Masuklah
ke dalam Islam”. Anak itu pun memandang ayahnya yang juga berada di dekat
kepalanya. Ayahnya berkata “Turutilah Abu Qasim”. Anak itu pun masuk Islam.
Nabi Saw berdiri dan bersabda,”Segala puji bagi Allah yang telah
menyelamatkannya dari neraka”. (HR. Bukhari). Hikmah menjenguk orang kafir
dzimmi yang sakit adalah mengharap agar ia masuk Islam. Namun, harapan ini
tidak terdapat dalam takziyah.
2. Tidak
boleh, karena Nabi saw, bersabda “Janganlah kalian memulai salam terhadap mereka.[14] Ucapan yang boleh diucapkan seorang
muslim ketika ketika bertakziyah kepada orang kafir yaitu “Semoga Allah memberimu ganti dan tidak
mengurangi kuantitasmu.”
Abu Abdullah bin Battah
berkata,”Boleh takziyah pada orang kafir. Semoga Allah memberikan yang terbaik
yang tidak diberikan pada seorang pun yang seagama denganmu atas musibah yang
menimpamu.”
Abu
Musa Al-Madini meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdullah bin Umar ra,
“Rasulullah saw bersabda ‘Apabila engkau mendoakan salah seorang dari Yahudi
atau Nasranai, Ucapkanlah “Semoga Allah Swt memperbanyak harta dan anakmu.”[15]
Al-Hakim
dalam Mustadrak-nya meriwayatkan dan
menyatakan, “Sanadnya sahih bersumber dari hadis Anas bin Malik ra., tuturnya
“Pada saat Rasulullah Saw meninggal, para sahabat mengelilinginya, mereka
berkumpul dan menangis. Kemudian seseorang berjenggot putih dan berbadan besar
serta rupawan masuk dan melangkahi para sahabat Rasulullah Saw, seraya berkata,
“Sesungguhnya Allah memiliki takziyah dari setiap musibah, pengganti dari
setiap yang meninggal dan pengganti dari setiap yang berlalu. Kepada Allah lah
hendaknya kalian bertobat dan kepada-Nya lah hendaknya kalian memohon. Ia memerhatikanmu
ketika tertimpa musibah. Maka, samkanlah karena sesungguhnya orang yang
tertimpa musibah adalah orang yang tidak dipaksa.”Orang itu pun pergi. Abu
Bakar dan ali berkata, “Ya, ini adalah saudara Rasulullah Saw, Khidir As.” [16]
D.
Duduk
Berkumpul Sewaktu Takziyah
[17]Takziyah
dilaksanakan dengan menghibur keluarga dan kaum kerabat dari yang meninggal,
lalu semua pergi menunaikan keperluan masing-masing tanpa seorangpun duduk
terlebih dahulu, baik yang berkunjung maupun yang dikunjungi. Inilah tuntunan
ulama shaleh.
Syafi’i
dalam al-Umm berkata,” Aku tidak suka duduk berkumpul itu, walau tidak disertai
tangis karena akan membangkitkan rasa duka dan membebankan biaya, di samping
adanya keterangan-keterangan yang melarangnya.”
Nawawi
berkata,” Menurut Syafi’i dan para sahabatnya, makruh duduk sewaktu takziyah.
Maksud duduk di sini adalah apabila keluarga mayat berkumpul di sebuah rumah
agar dapat dikunjungi oleh orang-orang yang hendak takziyah.”
Seharusnya
orang-orang itu pergi menunaikan keperluan masing-masing. Dalam hal ini, tidak
ada bedanya antara laki-laki dan wanita, kedua golongan sama-sama dimakruhkan
dudukberkumpul sewaktu takziyah. Hal ini ditegaskan oleh Muhamili yang
disampaikannya dari ucapan Syafi’i. Larangan yang dimaksudnya adalah larangan
makruh, yakni jika tidak disertai dengan hal yang dibuat-buat. Seandainya
dicampur dengan hal-hal lain berupa
bid’ah yang diharamkan sebagaimana biasa terjadi mengikuti tradisi, maka
termasuk barang larangan yang amat nista, karena hal itu dibuat-buat, sedangkan
menurut hadits yang shahih,” Bahwa segala hal yang dibuat-buat itu adalah
bid’ah, dan setiap bid’ah berarti sesat.”
Ahmad
dan banyak ulama golongan Hanafi menganut pendapat di atas. Akan tetapi,
orang-orang terdahulu dari golongan Hanafi berpendapat bahwa tidak ada salahnya
duduk bukan di masjid dalam waktu tiga hari untuk takziyah, asal tidak
melakukan hal-hal yang terlarang.
Oleh karena itu, apa-apa yang dilakukan oleh
orang-orang di masa kini, yaitu bertakziyah sambil duduk berkumpul, mendirikan
tenda, membentangkan amparan, serta menghamburkan uang yang tidak sedikit,
termasuk hal-hal yang dibuat-buat, dan bid’ah yang mungkar yang wajib
dihindarkan oleh kaum muslimin dan terlarang mengerjakannya. Apalagi banyak
pula terjadi hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Al-Quran dan menyalahi
Sunnah. Justru sebaliknya, ia sejalan dengan adat istiadat jahiliah, misalnya
menyanyikan ayat-ayat Al-Quran tanpa mengindahkan norma dan tata tertib
qira’at, tanpa menyimak dan berdiam diri, sebaliknya asyik bersenda gurau dan
merokok. Dan tidak hanya sampai di sini, tetapi orang-orang hartawan melangkah
lebih jauh lagi. Mereka tidak puas dengan hari-hari pertama, tetapi mereka
peringati pula hari keempat puluh untuk membangkitkan kemungkaran-kemungkaran
dan mengulangi bid’ah-bid’ah ini. Tidak saja mereka peringati genap satu tahun
masa wafatnya, tetapi juga genap dua tahun dan seterusnya, suatu hal yang tidak
sesuai dengan pikiran sehat dan tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi.[18]
E.
Keutamaan
Takziyah
Mengenai hal tersebut terdapat keutamaan yang besar
, hal ini berdasarkan hadist ‘Amr bin Hazm bahwa Nabi Saw bersabda:
“Tidaklah
seorang mukmin berta’ziyah kepada saudaranya atas suatu musibah, melainkan
Allah akan memakaikan kepadanya salah satu dari pakaian kehormatan pada hari
kiamat.”
Diriwayatkan
dari Anas bin Malik, dari Nabi saw, bersabda:
“Barang
siapa yang berta’ziyah kepada saudaranya yang mukmin atas suatu musibah, maka
Allah akan memakaikan kepadanya pakaian yang berwarna hijau, yang akan
membuatnya senang pada hari kiamat.” Ada yang bertanya:”Wahai Rasulullah, apa
makna yubbar (membuat senang)?”
Beliau menjawab:”Membuat orang menginginkannya.”[19]
Selain itu nilai dan keutamaan lain dari takziyah
adalah sebagai berikut:
1. Takziyah
dapat menumbuhkan ingatan manusia kepada kematian, bahwa setiap yang bernyawa
pasti akan mati.
2. Mewujudkan
hubungan baik antar manusia.
3. Takziyah
merupakan media untuk mengingatkan manusia terhadap sesuatu yang pasti yaitu
kematian.
4. Takziyah
dapat menangkal sifat keduniaan yang dimiliki oleh manusia.
5. Melalui
takziyah seseorang akan terdorong untuk introspeksi diri atas semua aktivitas
yang dilakukannya. Sehingga akan semakin tumbuh semangat mengisi hidup dengan
perbuatan baik dan amal shaleh.
6. Takziyah
mengarahkan manusia menjadi hamba Allah yang saleh dan bertakwa.[20]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Ta’ziyah merupakan mengunjungi orang yang tengah
mendapatkan musibah dimana ada salah seorang yang meninggal, dengan memberikan
ucapan agar keluarga bersabar, memberikan dorongan agar senantiasa tabah, dan
membahagiakan orang-orang yang ditinggalkan.
Takziyah disunnahkan hanya satu kali. Takziyah mesti
dilakukan terhadap seluruh kerabat mayat, besar maupun kecil, laki-laki dan
wanita, baik sebelum dikuburkan maupun sesudahnya, hingga tiga hari setelah
wafatnya. Kecuali bila yang akan berkunjung atau yang hendak dikunjungi ia
sedang bepergian, maka tidak mengapa nelakukannya setelah lewatnya waktu
tersebut.
Jika seorang muslim bertakziyah kepada muslim, maka
yang diucapkannya adalah “Semoga Allah menghibur hatimu sebaik-baiknya, dan
mengampuni keluargamu yang meninggal.” Seandainya yang bertakziyah itu orang
kafir kepada sesamanya, yang diucapkannya adalah “Semoga Allah akan memberikan
gantinya bagimu.”Adapun jawaban takziyah itu adalah mengucapkan amin dari pihak
yang dikunjunginya dan mengiringinya dengan “Semoga Allah memberimu pahala.”
Bertakziyah sambil duduk berkumpul, mendirikan
tenda, membentangkan amparan, serta menghamburkan uang yang tidak sedikit,
termasuk hal-hal yang dibuat-buat, dan bid’ah yang mungkar yang wajib
dihindarkan oleh kaum muslimin dan terlarang mengerjakannya.
Nilai dan keutamaan lain dari takziyah yaitu takziyah
dapat menumbuhkan ingatan manusia kepada kematian, bahwa setiap yang bernyawa
pasti akan mati. Mewujudkan hubungan baik antar manusia, media untuk
mengingatkan manusia terhadap sesuatu yang pasti yaitu kematian, dapat
menangkal sifat keduniaan yang dimiliki oleh manusia. Melalui takziyah
seseorang akan terdorong untuk introspeksi diri atas semua aktivitas yang
dilakukannya. Sehingga akan semakin tumbuh semangat mengisi hidup dengan
perbuatan baik dan amal shaleh.
DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzhabi, Imam. 2005.
Dosa-Dosa Besar. Jakarta: Arafah.
Departemen Agama RI.
2012. At-Thayyib Al-Qur’an Transliterasi
Per Kata dan
Terjemah Per Kata. Jakarta:
Cipta Bagus Segara.
Helmy, Muhammad Irfan .
2006. Seratus Cerita tentang Akhlak. Jakarta:
Republika.
Muhammad Al-Manjabi
Al-Hanbali. 2007. Menghadapi Musibah
Kematian.
Jakarta:
Hikmah.
Muhammad, Syafi’i Abu
Abdullah . 2004. Ringkasan Kitab Al-Umm. Jakarta:
Pustaka
Azzam.
Said bin Ali bin Wahf
Al-Qhathani dan Sa’id A. Waqhathani. 2006. Ensiklopedia
Shalat Jilid 3.Jakarta:
Pustaka Imam Asy-Syafi’i.
Sayyid Sabiq. 2004. Fiqih Sunnah. Jakarta: Darul Fath.
[1] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Darul Fath,
2004) hlm. 201.
[2] Muhammad Irfan Helmy, Seratus Cerita tentang Akhlak, (Jakarta:
Republika, 2006) hlm. 141.
[3] Ibid., hlm. 141.
[4] Imam Adz-Dzhabi, Dosa-Dosa Besar, (Jakarta: Arafah, 2005)
hlm. 317.
[5]Departemen Agama RI, At-Thayyib Al-Qur’an Transliterasi Per Kata
dan Terjemah Per Kata, (Jakarta: Cipta Bagus Segara, 2012) hlm. 106.
[6] Muhammad Al-Manjabi Al-Hanbali, Menghadapi Musibah Kematian, (Jakarta:
Hikmah, 2007) hlm. 110.
[7] Ibid., hlm. 111.
[8] Imam Syafi’i Abu Abdullah
Muhammad bin Idris, Ringkasan Kitab
Al-Umm, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2004) hlm. 387.
[9] Sayyid Sabiq, Op, Cit., hlm. 201.
[10] Imam Adz-Dzhabi, Op, Cit., Hlm. 317.
[11] Muhammad Al-Manjabi Al-Hanbali, Op, Cit.,hlm. 111
[12] Sayyid Sabiq, Op, Cit., hlm. 201.
[13] Ibid., hlm. 203.
[14] Muhammad Al-Manjabi Al-Hanbali, Op, Cit., hlm. 112.
[15] Ibid., hlm. 113.
[16] Ibid., hlm. 114.
[17] Sayyid Sabiq, Op, Cit., hlm. 203.
[18] Ibid., hlm. 204.
[19] Said bin Ali bin Wahf
Al-Qhathani dan Sa’id A. Waqhathani, Ensiklopedia
Shalat Jilid 3, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2006) hlm. 513.
[20] Muhammad Irfan Helmy, Op, Cit., hlm. 142.
Comments
Post a Comment