BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fiqih
merupakan bidang ilmu yang membahas tentang hukum-hukum amaliyyah mustanbathah
(praktis) yang diambil dari dalil-dalilnya secara terinci. Adapun fiqih
muamalah adalah salah satu dari cabang fiqih, yang mana di dalamnya mengatur
hubungan antara satu individu dengan individu lain, atau antara individu dengan
negara Islam, dan negara Islam dengan negara lain.
Adapun
dalam pembahasan kali ini akan dibahas mengenai riba, bank dan asuransi, dimana
ketiganya merupakan bagian dari fiqih muamalah. Riba, bank dan asuransi merupakan
sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan perekonomian di suatu negara, termasuk
di Indonesia. Ketiganya sudah tak asing lagi di telinga masyarakat.
Riba
merupakan bentuk suatu penambahan dari pembayaran yang telah jatuh tempo.
Banyak orang yang menyamakan riba dengan kegiatan jual beli. Anggapan tersebut
jelaslah salah, karena keduanya memiliki perbedaan yang sangat mencolok yang
dapat dilihat dari aktivitas dan akibatnya. Riba memiliki macam-macam dan
sebab-sebab yang mengakibatkan terjadinya riba, yang sudah tentu harus sangat
diperhatikan dengan hukumnya.
Selain
itu bank dan asuransi, kedua kegiatan ekonomi ini pun harus mendapat perhatian,
karena keabsahannya pun masih dipertanyakan oleh para ulama. Oleh karena itu,
untuk mengetahui lebih jelas mengenai pembahasan riba, bank dan asuransi, akan
di bahas pada pembahasan makalah kali ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang diatas, maka rumusan masalah yang diambil yaitu:
1. Apa
saja hal-hal yang harus diperhatikan dari riba?
2. Apa
saja hal-hal yang harus diperhatikan dari bank?
3. Apa
saja hal-hal yang harus diperhatikan dari asuransi?
C. Tujuan
Tujuan dari pembuatan pembahasan kali
ini yaitu:
1. Untuk
mengetahui hal hal yang terdapat dalam riba,
2. Untuk
mengetahui hal-hal yang terdapat dalam bank, dan
3. Untuk
mengetahui hal-hal yang terdapat dari asuransi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riba
1.
Definisi
Riba
Kata
riba dalam bahasa Arab berarti tambahan. Dalam kamus Al-Muhiith disebutkan Rabba
rubuwwan ka ‘uluwwan wa robaan ya’ni zaada wa namaa yang berarti bertambah
dan tumbuh berkembang. Dalam kamus Al-Misbah
Al-Munir kata riba diartikan sebagai keutamaan dan tambahan.[1]
Sedangkan menurut istilah ahli fiqih yaitu penambahan pada salah satu dari dua
ganti yang sejenis tanpa ada ganti dari tambahan ini.
Tidak
semua tambahan dianggap riba, karena tambahan terkadang dihasilkan dalam sebuah
perdagangan dan tidak ada riba di dalamnya hanya saja tambahan yang
diistilahkan dengan nama “riba” dan Al-Quran menerangkan pengharamannya adalah
tambahan yang diambil sebagai ganti dari tempo.
Qatadah
berkata: “Sesungguhnya riba orang jahiliyyah adalah seseorang menjual satu
jualan sampai tempo tertentu dan ketika jatuh tempo dan orang yang berutang
tidak bisa membayarnya dia menambah utangnya dan melambatkan tempo”.[2]
Adapun
menurut Syaikh Muhammad Abduh, riba ialah penambahan-penambahan yang
diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya
(uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang
telah ditentukan.[3]
2.
Sebab-Sebab
Haramnya Riba
Sebab-sebab riba
diharamkan yaitu:
a) Karena
Allah dan rasul-Nya melarang atau mengharamkannya, firman Allah:
“Allah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Rasulullah
Saw bersabda:
“Satu
dirham uang riba yang dimakan seseorang, sedangkan orang tersebut
mengetahuinya, dosa perbuatan tersebut lebih berat daripada dosa enam puluh
kali zina.” (Riwayat Ahmad)
b) Karena
riba menghendaki pengambilan harta orang lain dengan tidak ada imbangannya,
seperti seseorang menukarkan uang kertas Rp 10.000,00 dengan uang recehan
senilai Rp 9.950,00, maka uang senilai Rp 50,00 tidak ada imbangannya, maka
uang senilai Rp 50,00 adalah riba.
c) Dengan
melakukan riba, orang tersebut menjadi malas berusaha yang sah menurut syara’.
d) Riba
menyebabkan putusnya perbuatan baik terhadap sesama manusia dengan cara utang
putang atau menghilangkan faedah utang piutang sehingga riba lebih cenderung
memeras orang miskin daripada menolong orang miskin.[4]
Benda-benda yang telah ditetapkan ijma atas
keharamannya karena riba ada enam macam yaitu emas, perak, gandum, syair, kurma
dan garam.[5]
Adapun cara untuk menyingkiri akad riba bagi orang
yang menjual emas dengan emas atau perak dengan perak, gandum dengan gandum
atau beras dengan beras, yang dilakukan dengan tidak sama besar adalah
hendaknya satu sama lainnya saling menghibahkan haknya itu, atau saling
menghutangkannya kemudian membebaskan pembayarannya kembali.
Dalam jual beli emas dengan perak atau beras dengan
gandum yang tidak telah saling menyerah terimakan sebelum berpisah, adalah bisa
tersingkir dari aqad riba dengan cara menghutangkan oleh pihak satu kepada
pihak lainnya.[6]
3.
Macam-Macam
Riba
Riba bisa
diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu:
a) Riba
Fadhl
Riba
Fadhl adalah berlebih salah satu dari dua pertukaran yang diperjualbelikan.
Bila yang diperjualbelikan sejenis, berlebih timbangannya pada barang-barang
yang ditimbang, berlebih takarannya pada barang-barang yang ditakar dan
berlebihan ukurannya pada barang-barang yang dukur.[7]
Empat
imam madzhab telah sepakat bahwa riba jenis ini haram, karena khawatir pada
akhirnya orang akan jatuh kepada riba yang hakiki yaitu riba an’nasi’ah yang sudah menyebar dalam
tradisi masyarakat Arab. Termasuk dalam riba ini yaitu riba qardh yaitu seseorang memberi pinjaman
uang kepada orang lain dan dia memberi syarat supaya si penghutang memberinya
manfaat seperti menikahi anaknya, dan lain-lain[8]
b) Riba
Al-Yadd (Tangan)
Riba
Al-Yadd adalah jual beli dengan
mengakhirkan penyerahan kedua barang ganti atau salah satunya tanpa menyebutkan waktunya.
c) Riba
An-Nasi’ah
Riba
An-Nasi’ah merupakan jual beli yang
mengakhirkan tempo pembayaran. Riba jenis ini merupakan riba yang terkenal pada
zaman jahiliah. Salah seorang dari mereka memberikan hartanya untuk orang lain
sampai waktu tertentu dengan syarat dia mengambil tambahan tertentu dalam
setiap bulannya sedangkan modalnya tetap dan jika sudah jatuh tempo ia akan
mengambil modalnya dan jika belum sanggup membayar, maka waktu dan bunganya
akan ditambah.
Keharaman
riba an-nasi’ah telah di tetapkan
berdasarkan nash yang pasti dengan kitab Allah, summah Rasul-Nya serta ijma’
kaum muslimin.
Firman
Allah Swt.,:
“Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah
sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti, maka baginya apa
yang telah diambilnya dahulu, dan urusannya kepada Allah. Orang yang kembali,
maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya .
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap
orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.” (QS. Al-Baqarah:
275-276)
Adapun
dalil pengharaman riba dalam sunnah yaitu:
“Rasulullah
melaknat yang memakan riba, wakilnya, penulisnya dan dua orang saksinya.”[9]
4.
Hal-Hal
yang Menimbulkan Riba
Jika
seseorang menjual benda yang mungkin mendatangkan riba menurut jenisnya, maka
disyaratkan sama nilainya, sama ukurannya menurut syara’, dan sama-sama tunai
di majelis akad.
Berikut
ini yang termasuk riba pertukaran diantaranya:
a. Seseorang
menukar langsung uang kertas Rp 10.000,00 dengan uang recehan Rp 9.950,00. Uang
Rp 50,00 tidak ada imbangannya atau tidak termasuk, maka uang tersebut adalah
riba.
b. Seseorang
meminjamkan uang sebanyak Rp 100.000,00 dengan syarat dikembalikan ditambah 10%
dari pokok pinjaman maka 10% dari pokok pinjaman adalah riba sebab tidak ada
imbangannya.
c. Seseorang
menukarkan seliter beras ketan dengan dua liter beras dolog, maka pertukaran
tersebut adalah riba sebab beras hanya ditukar dengan beras sejenis dan tidak
boleh dilebihkan salahsatunya. Jalan keluarnya adalah beras ketan dijual
terlebih dahulu dan uangnya digunakan untuk membeli beras dolog.
Tidak dibolehkan
menjual emas dengan emas, perak dengan perak, baik masih terurai, maupun sudah
ditempa atau belum ditempa atau sudah menjadi perhiasan, terkecuali seimbang
benar, serupa benar dan tunai (kontan).[10]
d. Seseorang
yang akan membangun rumah membeli batu bata, uangnya diserahkan tanggal 5
Desember, sedangkan batu batanya diambil nanti ketika pembangunan rumah
dimulai, maka perbuatan tersebut adalah perbuatan riba sebab terlambat
salahsatunya dan berpisah sebelum serah terima barang.
e. Seseorang
yang menukarkan 5 gram mas 22 karat dengan 5 gram mas 12 karat termasuk riba walaupun sama ukurannya,
tetapi berbeda nilai (harganya) atau menukarkan 5 gram mas 22 karat dengan 10
gram mas 12 karat yang harganya sama, juga termasuk riba sebab walaupun
harganya sama ukurannya tidak sama.[11]
5.
Dampak
Riba pada Ekonomi
Saat
ini riba yang dipinjamkan merupakan asas pengembangan harta pada
perusahaan-perusahaan. Hal itu berarti akan memusatkan harta pada penguasaan
para hartawan, padahal mereka hanya merupakan sebagian kecil dari seluruh
anggota masyarakat, daya beli mereka pada hasil-hasil produksi juga kecil. Pada
waktu yang bersamaan, pendapatan kaum buruh yang berupa upah atau yang lainnya,
juga kecil. Maka daya beli kebanyakan anggota masyarakat kecil pula.
Hal
ini merupakan masalah penting dalam ekonomi, yaitu siklus-siklus ekonomi. Hal
ini berulang kali terjadi. Siklus-siklus ekonomi yang berulang kali terjadi
disebut krisis ekonomi. Para ahli ekonomi berpendapat bahwa penyebab utama
krisis ekonomi yaitu bunga yang dibayar sebagai peminjaman modal atau riba.
Riba
dapat menimbulkan over produksi. Riba membuat daya beli sebagian besar
masyarakat lemah sehingga persediaan jasa dan barang semakin tertimbun,
akibatnya perusahaan macet karena produksinya tidak laku, perusahaan mengurangi
tenaga kerja untuk menghindari kerugian yang lebih besar dan mengakibatkn
adanya sekian jumlah pengangguran.[12]
6.
Hikmah
Diharamkannya Riba
Hikmah-hikmah
yang terkandung di balik pengharaman riba yaitu sebagai berikut:
a. Riba
merupakan pelanggaran terhadap kesucian harta (seorang) muslim yang mengambil
kelebihan atau tambahan tanpa dibarengi adanya pertukaran atau penggantian,
b. Riba
berdampak buruk terhadap para fakir miskin karena pada umumnya hanya orang kaya
lah yang meminjamkan uangnya, sedangkan yang meminjam adalah orang miskin,
c. Riba
mengakibatkan terputusnya nilai luhur kebaikan yang ada dalam pinjam meminjam
uang atau utang piutang,
d. Riba
mengakibatkan terbengkalai dan mandulnya pencarian rezeki, perniagaan,
keterampilan dan industri sehingga kemaslahatan dan kelestarian alam tidak akan
terwujud karena kemaslahatan dan kelestarian alam tersebut hanya akan tercapai
dengan hal-hal tersebut.[13]
B.
Bank
1.
Pengertian
Menurut
Fuad Mohd Fachruddin, bank berasal dari kata banko (bahasa Italia) yang berarti simbol penukaran uang di Italia.
Sedangkan menurut Yan Pramadyapuspa, bank berasal dari bahasa Inggris atau
Belanda yang berarti kantor penyimpanan uang.[14]
Fuad
Mohd Fachruddin berpendapat bahwa, bank menurut istilah adalah suatu perusahaan
yang memperdagangkan utang-piutang, baik yang berupa uangnya sendiri maupun
uang orang lain.[15]
2.
Sejarah
Pendirian Bank
Sejarah
mencatat asal mula dikenalnya kegiatan perbankan adalah pada zaman kerajaan
tempo dulu di daratan Eropa. Kemudian usaha perbankan ini berkembang ke Asia
Barat oleh para pedagang. Perkembangan perbankan di Asia, Afrika dan Amerika
dibawa oleh bangsa Eropa ketika menjajah ke negara-negara jajahannya baik di
Asia, Afrika maupun Amerika.
Karena
kegiatan perbankan dimulai dari jasa penukaran uang, maka dalam sejarah
perbankan, arti bank dikenal sebagai meja penukaran uang. Istilah bank berasal
dari bahasa Italia yakni banca
(meja). Dalam perjalanan sejarah kerajaan tempo dulu mungkin penukaran uang
dilakukan antar satu kerajaan dengan kerajaan lain, kegiatan penukaran uang ini
sekarang dikenal dengan nama perdagangan valuta asing.
Kemudian
dalam perkembangan selanjutnya kegiatan operasional perbankan berkembang lagi
menjadi tempat penitipan uang yang disebut kegiatan simpanan. Selanjutnya
perbankan bertambah dengan kegiatan peminjaman uang. Oleh bank, uang yang
dihimpun tersebut dipinjamkan kepada masyarakat yang membutuhkan.[16]
3.
Bank
Islam
Bank
Islam adalah suatu lembaga keuangan yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk
disalurkan kepada orang atau lembaga yang membutuhkannya dengan sistem tanpa
bunga.[17]
Tujuan
bank Islam adalah memacu perkembangan ekonomi dan kemajuan sosial dari
negara-negara anggota dan masyarakat muslim, baik secara individual maupun
secara kolektif. Tujuan utama didirikannya bank Islam yaitu untuk menghindari
bunga uang yang dilaksanakan oleh bank-bank konvensional. Manfaat dan kegunaan
bank Islam yaitu:
a. Turut
serta dalam bentuk modal berimbang dari usaha-usaha produktif di negara-negara
anggota, menanam modal pada proyek prasarana ekonomi dan sosial di
negara-negara anggota dengan cara penyertaan,
b. Memberikan
pinjaman kepada sektor swasta dan negara untuk membiayai proyek-proyek usaha
dan program-program yang produktif,
c. Membentuk
dan mengoperasikan dana khusus untuk keperluan-keperluan khusus, termasuk dana
sosial untuk masyarakat muslim yang berada di luar anggota,
d. Menyediakan
bantuan teknis kepada negara-negara anggota dan memajukan perdagangan
internasional,
e. Melaksanakan
penelitian agar kegiatan ekonomi, keuangan dan perbankan di negara-negara Islam
dapat disesuaikan dengan ketentuan syariah,
f.
Bank mencoba mencari sebuah rasio yang
layak untuk mempertahankan suatu perbandingan yang cocok antara penanaman modal
yang diberikan kepada negara-negara anggota,
g. Bank
akan mempertahankan hak dan kebebasannya untuk menjual saham penyertaannya,
h. Berusaha
mempertahankan suatu keanekaragaman yang wajar dalam penanaman modal,
i.
Memungut suatu biaya atas jasa-jasanya
guna menutupi ongkos administrasi.[18]
4.
Kedudukan
Bank dalam Islam
Dalam
dunia perekonomian modern, bank merupakan alat yang vital. Tanpa lembaga bank
perekonomian tidak akan lancar. Islam adalah agama yang mengatur umatnya dalam
kehidupan dunia dan akhirat demi kemaslahatan yang termasuk di dalamnya
kemaslahatan ekonomi. Maka kedudukan bank dalam Islam adalah membentuk salah
satu alat vital perekonomian modern.
Bank
didirikan untuk menciptakan kemaslahatan umat Islam, maka dalam praktiknya bank
tidak boleh bertentangan dengan ajaran-ajaran agama Islam. Salah satu
penyimpangan utama yaitu yang terdapat pada bank konvensional adalah sistem
bunga, sistem ini bertentangan dengan ajaran Islam.berdasarkan pendapat para
ulama, sistem bank inilah yang harus dihapuskan. Penghapusan sistem bunga
berarti melaksanakan islamisasi perbankan.
Bank-bank
kovensional dibolehkan melakukan operasinya di negara Islam dengan syarat
sebagai berikut:
a. Bank-bank
konvensional dilarang membayar bunga kepada para penyimpan depositnya.
b. Bank-bank
konvensional dilarang memungut bunga dari para peminjamnya.[19]
5. Hukum Bank dalam Islam
Bank merupakan masalah
baru dalam khazanah hukum Islam, maka para ulama masih memperdebatkan keabsahan
sebuah bank. Berikut ini beberapa pandangan mengenai hukum perbankan, yaitu
mengharamkan, tidak mengharamkan, dan syubhat (samar-samar).[20]
a.
Kelompok yang mengharamkan.
Ulama yang mengharamkan riba di antaranya adalah Abu Zahra (guru besar Fakultas
Hukum, Kairo, Mesir), Abu A’la al-Maududi (ulama Pakistan), dan Muhammad
Abdullah al-A’rabi (Kairo). Mereka berpendapat bahwa hukum bank adalah haram,
sehingga kaum Muslimin dilarang mengadakan hubungan dengan bank yang memakai
sistem bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa
b.
Kelompok yang tidak
mengharamkan. Ulama yang tidak mengharamkan di antaranya adalah Syekh Muhammad
Syaltut dan A.Hassan. Mereka mengatakan bahwa kegiatan bermuamalah kaum
Muslimin dengan bank bukan merupakan perbuatan yang dilarang. Bunga bank di
Indonesia tidak bersifat ganda, sebagaimana digambarkan dalam QS. Ali Imran
[3]:130.
c.
Kelompok yang menganggap
syubhat (samar). Bank merupakan perkara yang belum jelas kedudukan hukumnya
dalam Islam karena bank merupakan sebuah produk baru yang tidak ada nasnya. Hal-hal
yang belum ada nas dan masih diragukan ini yang dimaksud dengan barang
syubhat (samar). Karena untuk kepentingan umum atau manfaat sosial yang sangat
berarti bagi umat, maka berdasarkan kaidah usul (maslahah mursalah),
bank masih tetap digunakan dan dibolehkan. Namun ketentuan ini hanya untuk bank
pemerintah (non-swasta), dan tidak berlaku untuk bank swasta dengan alasan
tingkat kerugian pada bank swasta sangat tinggi dibanding dengan bank
pemerintah
C.
Asuransi
1.
Pengertian
Kata
asuransi berasal dari bahasa Belanda, assurantie
yang dalam hukum Belanda disebut verzekering
yang artinya pertanggungan. Dari peristilahan assurantie kemudian timbul istilah assuradeur bagi penanggung, dan geassureerde
bagi tertanggung.[21]
Asuransi
menurut Robert I. Mehr, asuransi adalah suatu alat untuk mengurangi resiko
dengan menggabungkan sejumlah unit-unit yang beresiko agar kerugian individu
secara kolektif dapat diprediksi. Kerugian yang dapat diprediksi itu kemudian
dibagi dan didistribusikan secara proporsional di antara semua unit-unit dalam
gabungan tersebut.[22]
2. Pengertian Asuransi Dalam Islam
Dalam menerjemahkan
istilah asuransi ke dalam konteks asuransi Islam terdapat beberapa istilah,
antara lain takaful (bahasa Arab), ta’min (bahasa Arab) dan Islamic
insurance (bahasa Inggris). Istilah-istilah tersebut pada dasarnya tidak
berbeda satu sama lain yang mengandung makna pertanggungan atau saling
menanggung. Namun dalam prakteknya istilah yang paling populer digunakan
sebagai istilah lain dari asuransi dan juga paling banyak digunakan di beberapa
negara termasuk Indonesia adalah istilah takaful.[23]
3.
Perbedaan Asuransi
Konvensional dan Asuransi Syariah[24]
a.
Asuransi Konvensioal
Ada beberapa ciri yang dimiliki asuransi konvensional, di antaranya
adalah:
1)
Akad asuransi ini adalah
akad mu’awadhah, yaitu akad yang didalamnya kedua orang yang berakad dapat
mengambil pengganti dari apa yang telah diberikannya.
2)
Akad asuransi ini adalah akad gharar karena masing-masing dari
kedua belah pihak penanggung dan tertanggung pada waktu melangsungkan akad
tidak mengetahui jumlah yang ia berikan dan jumlah yang dia ambil.
b.
Asuransi Syariah
1)
Asuransi syariah dibangun
atas dasar taawun (kerja sama ), tolong menolong, saling menjamin, tidak
berorientasi bisnis atau keuntungan materi semata.
2)
Asuransi syariat tidak
bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru’ atau mudhorobah.
Manfaat asuransi syariah:
1)
Tumbuhnya rasa
persaudaraan dan rasa sepenanggungan di antara anggota.
2)
Implementasi dari anjuran Rasulullah Saw. agar
umat Islam salimg tolong menolong.
3)
Jauh dari bentuk-bentuk
muamalat yang dilarang syariat. Secara umum dapat memberikan
perlindungan-perlindungan dari resiko kerugian yang diderita satu pihak.
3.
Macam-Macam
Asuransi
Macam-macam asuransi
diantaranya adalah sebagai berikut[25]:
a. Asuransi
Timbal Balik
Asuransi
timbal balik adalah beberapa orang memberikan iuran tertentu yang dikumpulkan
dengan maksud meringankan atau melepaskan beban seseorang dari mereka saat
mendapat kecelakaan. Jika uang yang dikumpulkan tersebut telah habis, dipungut
lagi iuran yang baru untuk persiapan selanjutnya, demikian seterusnya.
b. Asuransi
Dagang
Asuransi
dagang adalah beberapa manusia yang senasib bermufakat dalam mengadakan
pertanggungjawaban bersama untuk memikul kerugian yang menimpa salah seorang anggota
mereka. Apabila timbul kecelakaan yang merugikan salah seorang anggota
kelompoknya yang telah berjanji itu, seluruh orang yang tergabung dalam
perjanjian tersebut memikul beban kerugian itu dengan cara memungut derma
(iuran) yang telah ditetapkan atas dasar kerja sama untuk meringankan teman
semasyarakat.
c. Asuransi
Pemerintah
Asuransi
pemerintah adalah menjamin pembayaran harga kerugian kepada siapa saja yang
menderita di waktu terjadinya suatu kejadian yang merugikan tanpa
mempertimbangkan keuntungannya, bahkan pemerintah menanggung kekurangan yang
ada karena uang yang dipungut sebagai iuran dan asuransi lebih kecil daripada
harga pembayaran kerugian yang harus diberikan kepada penderita di waktu
kerugian itu terjadi. Asuransi pemerintah dilaksanakan secara obligator atau
paksaan dan dilakukan oleh badan-badan yang telah ditentukan untuk
masing-masing keperluan.
d. Asuransi
Jiwa
Asuransi
jiwa adlah asuransi atas jiwa orang-orang yang mempertanggungkan atas jiwa
orang lain, penanggung (asurador) berjanji akan membayar sejumlah uang kepada
orang yang disebutkan namanya dalam polis apabila yang mempertanggungkan (yang
ditanggung) meninggal dunia atau sesudah melewati masa-masa tertentu.
e. Asuransi
atas Bahaya yang Menimpa Badan
Merupakan
asuransi dengan keadaan-keadaan tertentu pada asuransi jiwa atas
kerusakan-kerusakan diri seseorang, seperti asuransi mata, asuransi telinga, atau
asuransi atas penyakit-penyakit tertentu. Asuransi ini banyak dilakukan oleh
buruh-buruh industri yang menghadapi bermacam-macam kecelakaan dalam menunaikan
tugasnya.
f.
Asuransi terhadap Bahaya-Bahaya
Pertanggungjawaban Sipil
Merupakan
asuransi yang diadakan terhadap benda-benda, seperti asuransi rumah,
perusahaan, mobil, kapal udara, kapal laut motor dan yang lainnya.
4.
Pendapat
Ulama tentang Asuransi
Masalah
asuransi dalam pandangan ajaran Islam termasuk masalah ijtihadiyah, artinya
hukumnya perlu dikaji sedalam mungkin karena tidak dijelaskan oleh Al-Quran dan
Al-Sunnah secara eksplisit. Para imam mujtahid tidak memberikan fatwa mengenai
asuransi karena pada masanya asuransi belum dikenal. Sistem asuransi baru
dikenal di dunia Timur pada abad ke 19 M. Dunia Barat sudah mengenal sistem
asuransi ini sejak abad 17 M, sedangkan para ulama mujtahid hidup sekitar abad
II sampai 9 M.
Di
kalangan ulama atau cendekiawan muslim, terdapat empat pendapat tentang hukum
asuransi, yaitu:
a. Mengharamkan
asuransi dalam segala macam dan bentuknya seperti sekarang ini, termasuk
asuransi jiwa. Kelompok ini antara lain Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqili,
Muhammad Yusuf al-Qardhawi, dan Muhammad Bakhit al-Muth’i, alasannya yaitu:
1) Asuransi
pada hakikatnya sama dengan judi,
2) Mengandung
unsur tidak jelas dan tidak pasti,
3) Mengandung
unsur riba,
4) Mengandung
unsur eksploitasi karena apabila pemegang polis tidak bisa melanjutkan
pembayaran preminya, bisa hilang atau dikurangi uang premi yang telah
dibayarkan,
5) Premi-premi
yang telah dibayarkan oleh para pemegang polis diputar dalam praktik riba,
6) Asuransi
termasuk akad sharfi, artinya jual
beli atau tukar menukar mata uang tidak dengan uang tunai,
7) Hidup
dan matinya manusia dijadikan objek bisnis, yang berarti mendahului takdir
Tuhan yang Maha Esa.[26]
b. Membolehkan
semua asuransi dalam praktiknya dewasa ini. Pendapat ini dikemaukakan oleh
Abdul Wahab Khalaf, Mustafa Ahmad Zarqa, Muhammad Yusuf Musa. Alasannya yaitu:
1) Tidak
ada nash Al-Quran maupun nash Hadis yang melarang asuransi,
2) Kedua
pihak yang berjanji (asurador dan yang mempertanggungkan) dengan penuh kerelaan
menerima operasi ini dilakukan dengan memikul tanggung jawab masing-masing,
3) Asuransi
tidak merugikan salah satu atau kedua belah pihak dan bahkan asuransi
menguntungkan kedua belah pihak,
4) Asuransi
mengandung kepentingan umum,
5) Asuransi
termasuk akad mudharabah, yang
merupakan akad kerja sama bagi hasil antara pemegang polis (pemilik modal)
dengan pihak perusahaan asuransi yang mengatur modal atas dasar bagi hasil,
6) Asuransi
termasuk syirkah ta’awuniyah,
7) Dianalogikan
atau diqiyaskan dengan sistem pensiun,
8) Operasi
asuransi dilakukan untuk kemaslahatan umum dan kepentingan bersama,
9) Asuransi
menjaga banyak manusia dari kecelakaan harta, benda, kekayaan dan kepribadian.
c. Membolehkan
asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang bersifat komersial
semata. Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah. Alasan membolehkan
asuransi yang bersifat sosial sama dengan alasan yang kedua diatas. Sedangkan untuk
alasan mengharamkan asuransi yang bersifat komersial yaitu secara garis besar
sama dengan pendapat pertama diatas.
d. Menganggap
bahwa asuransi bersifat syubhat karena tidak ada dalil-dalil syar’i yang secara
jelas mengharamkan ataupun secara jelas menghalalkannya. Apabila hukum asuransi
dikategorikan syubhat, konsekuensinya
adalah umat Islam dituntut untuk berhati-hati dalam menghadapi asuransi. Umat
Islam baru dibolehkan menjadi polis atau mendirikan perusahaan asuransi apabila
dalam keadaan darurat.[27]
5.
Asuransi
dalam Sistem Islam
Asuransi
merupakan suatu kebutuhan dasar bagi manusia karena kecelakaan dan konsekuensi
finansialnya memerlukan santunan. Asuransi merupakan organisasi
penyantunmasalah-masalah yang universal, seperti kematian mendadak, cacat,
penyakit pengangguran, kebakaran, banjir, badai dan kecelakaan-kecelakaan yang
bersangkutan dengan transportasi serta kerugian finansial yang disebabkannya.
Kecelakaan-kecelakaan
seperti diatas, tidak hanya bergantung pada tindakan para sukarelawan,
kenyataan ini menuntut asuransi untuk diperlakukan sebagai kebutuhan dasar
manusia pada ruang lingkup yang sangat luas dari kegiatan-kegiatan dan situasi
manusia.
Rancangan
asuransi yang dipandang sejalan dengan nilai-nilai Islam yaitu:
a. Semua
asuransi yang menyangkut bahaya pada jiwa manusia, baik mengenai anggota badan
maupun kesehatan harus ditangani secara eksklusif di bawah pengawasan negara.
b. Hendaklah
sebagian besar bentuk asuransi yang berkaitan dengan jiwa, perdagangan laut,
kebakaran dan kecelakaan dimasukkan dalam sektor negara. Beberapa diantaranya
yang berurusan dengan kecelakaan-kecelakaan tertentu, hak-hak dan kepentingan
serta kontrak-kontrak yang biasa diserahkan pada sektor swasta.[28]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Riba ialah
penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada
orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena pengunduran janji pembayaran
oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan. Hukum riba yaitu haram. Riba
terbagi ke dalam tiga macam yaitu riba fadhl, riba yadd, dan riba nasi’ah.
Bank berasal dari kata banko (bahasa Italia) yang berarti
simbol penukaran uang di Italia. Sedangkan menurut Yan Pramadyapuspa, bank
berasal dari bahasa Inggris atau Belanda yang berarti kantor penyimpanan uang.
Bank menurut istilah adalah suatu perusahaan yang memperdagangkan
utang-piutang, baik yang berupa uangnya sendiri maupun uang orang lain. Bank
Islam adalah suatu lembaga keuangan yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk
disalurkan kepada orang atau lembaga yang membutuhkannya dengan sistem tanpa
bunga. Para ulama masih memperdebatkan keabsahan
sebuah bank. Terbagi menjadi tiga pandangan hukum perbankan, yaitu
mengharamkan, tidak mengharamkan, dan syubhat (samar-samar).
Kata asuransi berasal
dari bahasa Belanda, assurantie yang
dalam hukum Belanda disebut verzekering
yang artinya pertanggungan. Dari peristilahan assurantie kemudian timbul istilah assuradeur bagi penanggung, dan geassureerde
bagi tertanggung. terdapat empat pendapat tentang hukum asuransi, yaitu mengharamkan
asuransi dalam segala macam dan bentuknya seperti sekarang ini, termasuk
asuransi jiwa. Kedua, membolehkan semua asuransi dalam praktiknya dewasa ini.
Ketiga, membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi
yang bersifat komersial semata. Keempat, menganggap bahwa asuransi bersifat
syubhat karena tidak ada dalil-dalil syar’i yang secara jelas mengharamkan
ataupun secara jelas menghalalkannya.
[1] Asy-Syaikh Shaleh bin Fauzan
Al-Fauzan, Perbedaan Jual Beli dan Riba,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997), hlm. 29.
[2] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010),
hlm. 219.
[3] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers,
2010), hlm. 58.
[4] Hendi Suhendi, Op, Cit., hlm. 58-61.
[5] Syaikh Al-‘Allamah Muhammad, Fiqih Empat Mazhab, (Bandung: Hasyimi,
2013), hlm. 214.
[6] Aliy As’ad, Terjemah Fathul Mu’in, (Yogyakarta: Menara Kudus, 1979), hlm. 175.
[7] Hendi Suhendi, Op, Cit., hlm. 61-62.
[8] Abdul Aziz Muhammad, Op, Cit., hlm. 218.
[9] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Op, Cit., hlm. 222-224.
[10] Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam,
(semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 341.
[11] Hendi Suhendi, Op, Cit., hlm. 63-64.
[12] Hendi Suhendi, Op, Cit., hlm. 64-65.
[13] Asy-Syaikh Shaleh bin Fauzan
Al-Fauzan, Op, Cit., hlm. 44.
[14] Fuad Mohd Fachruddin, Riba dalam Bank, Koperasi, Perseroan dan
Asuransi, (Bandung: Al-Ma’arif, 1985), hlm. 109.
[16]Bambang Prishardoyo, dkk, Pelajaran Ekonomi SMP Kelas 3, (Jakarta:
Grasindo, 2005), hlm. 18-19.
[17] Masjfuk Zuhdi, Masail Eiqhiyah, (Jakarta: Haji
Masagung, 1988), hlm. 143.
[18] Nejatullah Shiddiqi, Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: LPIM,
1986), hlm. 82-84.
[19] Anwar Iqbal Qureshi, Islam dan Teori Pembungaan Uang,
(Jakarta: Tintamas, 1985), hlm. 161.
[20] Kementrian Agama Republik
Indonesia, Fikih Buku Pegangan Siswa
Kelas X, (Jakarta: Kementrian Agama, 2014), hlm. 164.
[21] Ali Yafie, Asuransi dalam Pandangan Syariat Islam, Menggagas Fikih Sosial,
(Bandung: Mizan, 1994), hlm. 205.
[22] Muhammad Syakir, Asuransi Syariah, Konsep dan Sistem Operasional,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm. 27.
[23] Kementrian Agama Republik
Indonesia, Op, Cit., hlm. 165.
[24] Ibid., hlm. 165.
[25] Hendi Suhendi, Op, Cit., hlm. 308-309.
[26] Hendi Suhendi, Op, Cit., hlm. 310.
[27] Hendi Suhendi, Op, Cit., hlm. 310—312.
[28] Muh. Nejatullah Shiddiqi, Asuransi dalam Islam, (Bandung: Pustaka,
1987), hlm. 51-62.
Comments
Post a Comment