Skip to main content

Spanyol Islam (Masa Umayyah II Abdurrahman Ad-Dakhil)



PENDAHULUAN
Dunia Islam di Spanyol mengalami kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan kebudayaan, semenjak diperintah oleh para Amir keturunan Bani Umayyah yang berdiri sendiri terpisah dari pemerintahan Bani Abbasiyah di Baghdad, dimulai dari Abdurrahman Ad-Dakhil. Pada tahun 756 M, kekayaan pengetahuan dan intelektual di Islam Spanyol sangatlah besar pengaruhnya di Eropa baik filsafat, sains, fiqh, musik, kesenian, bahasa, sastra maupun pembangunan.[1]
Islam masuk ke Spanyol pada tahun 93 H, bertepatan dengan 711 M di bawah pimpinan Tariq bin Ziyad, dengan tujuan secara umum untuk membawa ramat bagi seluruh alam, dan secara khusus untuk menyejahterakan kehidupan masyarakat di daerah ini. Hal ini dilakukan karena pada saat Islam masuk ke Spanyol, keadaan sosial, politik dan ekonomi Spanyol dalam keadaan menyedihkan dan kejahatan sudah lama berkecamuk.[2]
Kemudian ekspansi ini dilanjutkan oleh Musa Ibn Nusair yang akhirnya mampu menguasai Spanyol bagian barat yang belum dilalui oleh Thariq, tanpa melalui perlawanan yang berarti. Keberhasilan ini akhirnya bermuara dengan dikuasainya seluruh wilayah Spanyol ke tangan Islam. Pada saat itu, kekhalifahan dinasti Umayyah pada masa pemerintahan Walid Bin Abdul Malik hanya menjadikan daerah Spanyol sebagai sebuah keamiran saja. Ia menunjuk Musa Ibn Nusair sebagai amir di sana yang berkedudukan di Afrika Utara.
Ketika dinasti Umayyah di Damaskus runtuh, Abdurrahman Ibn Mu’awiyah Ibn Hisyam, yang berhasil lolos dari buruan bani Abbas. Tokoh inilah yang kemudian berhasil mendirikan kembali Daulah Umayyah II di Spanyol.[3]
Dinasti umayah II didirikan oleh Abdurrahman ad-dakhil ibn muawiyah ibn hisyam pada tahun 138 H (757 M ) ad-dakhil artinya yang memasuki negeri karena dialah pangeran yang pertama kali dari keluarga bani umayah yang memasuki tanah Andalusia. Abdurrahman adalah salah seorang pangeran keturunan muawiyah yang berhasil menyelamatkan diri dari kejaran bani abasiyah yang bernama ibn Abdurahman al-fikry dengan kecerdasan dan kepiawaiannya dalam mengelola pemerintahan dinasti umayah II mampu bertahan cukup lama di wilayah tersebut. Selanjutnya kerajaan ini memisahkan diri dari kekuasaan Abasyiah di Baghdad dan menjadi kerajaan yang berdaulat sendiri pada masa keamiran dibawah pemerintahan Abdurahman ad-dakhil peradaban islam di Andalusia mulai berkembang, bahkan berhasil mencapai kejayaan begitupun setelah system pemerintahan di ganti dengan system khalifah dengan pusat pemerintahan di Cordova umat islam mampu mengembangkan peradaban yang tinggi di Eropa.[4]


SISTEM PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA UMAYYAH II
Pendidikan yang ditawarkan pada lembaga pendidikan Spanyol Islam tidak bersifat parsial, akan tetapi bersifat integral. Sistem pendidikannya tidak mengenal “isme” tertentu. Semua manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam pendidikan. Keobjektifan inilah yang membuahkan nilai kompetisi positif dalam pengembangan ilmu pengetahuannya ke arah lebih maju. Motivasi umat pada waktu itu dalam menuntut ilmu bukan disebabkan faktor untuk mendapatkan makan, akan tetapi karena dorongan oleh nilai-nilai ajaran agamanya yang mewajibkan untuk menuntut ilmu.
Berikut ini keadaan pendidikan pada masa dinasti umayyah II di Andalusia atau yang sekarang sering disebut dengan nama Spanyol:
a.       Pendidik dan Peserta Didik
Antara guru dan peserta didik terjalin hubungan yang harmonis. Kemerdekaan individu dalam mengeluarkan pendapat sangat dihargai, asal mampu mengeluarkan bukti argumentatif yang rasional. Upaya pembelajaran tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Situasi yang kondusif inilah yang membuat lembaga pendidikan pada saat itu mengalami kemajuan pesatnya. Para pelajarnya tidak dibatasi oleh usia dan status sosial. Ilmu yang dimiliki bukan sekedar menyentuh aspek kognitif belaka, akan tetapi mencakup aspek afektif dan psikomotor secara simultan dan integral. [5]
Peserta didik pada masa ini berasal dari berbagai kalangan, baik itu kalangan orang merdeka dan para budak.[6] Selain itu, peserta didik yang belajar tidak hanya berasal dari kalangan muslim, melainkan dari kalangan non muslim juga. Adapun peserta didik di perguruan tinggi itu berasal dari belahan Asia, Eropa, Afrika, dan belahan dunia lainnya.[7]
Pendidik pada masa ini yaitu para ulama-ulama, misalnya saja dalam bidang fikih yaitu Ziyad Ibn Abd. Ar-Rahman, Ibn Yahya, Abu Bakar Ibn al-Qutiyah, Munzir Ibn Said al-Baluthi dan Ibn Hazm. Selain itu, dalam bidang bahasa yaitu Ibn Sayidih, Ibn Malik yang mengarang al-Fiyah, Ibn Khuruf, Ibn Al-Hajj. Di bidang sastra yaitu Ibnu Abd. Rabbih, Ibn Bassam dan Al-Fath Ibn Khaqan.

b.      Lembaga Pendidikan
Pengembangan lembaga pendidikan pada masa dinasti Umayyah II ini terus mengalami perkembangan yang pesat dari masa ke masanya yaitu dapat dilihat dengan dibangunnya masjid-masjid, sekolah dan perguruan tinggi, kurang lebih 800 buah sekolah, yang difasilitasi perpustakaan dalam rangka meningkatkan gairah keilmuan. Dari lembaga pendidikan itulah lahir pemikir-pemikir Islam dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti ilmu hukum, teknik, ilmu pasti dan lain-lain.[8]
1.      Masjid
Pendidikan di Spanyol, baik tingkat dasar maupun menengah pada umumnya diberikan di masjid-masjid. Masjid menjadi basis sentral dalam pengembangan ilmu pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun umum. Dimasjid itulah para ulama dengan ulama, para ulama dengan para murid, dan murid dengan para murid bertemu untuk saling memberi dan menerima ilmu pengetahuan, berdialog, diskusi dan melakukan munazarah dan perdebatan ilmiah.[9]
2.      Kuttab
Kuttab-kuttab yang menyebar sampai ke pinggiran kota Andalusia dipergunakan para siswa dalam mempelajari berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan, seperti fikih, bahasa dan sastra, musik dan kesenian.[10]
Santri pada kuttab mendapatkan pelajaran yang cukup lengkap dari ulama-ulama yang ahli di bidang ilmunya, sehingga para siswanya lebih cepat menyerap ilmu pengetahuan yang dipelajarinya, sehingga menumbuhkan minat belajar di kala itu.[11]
3.      Pendidikan Tinggi
Guna melakukan sosialisasi ilmu pengetahuan lebih lanjut, khalifah Abdul Rahman III mencoba merintisnya dengan  mendirikan universitas Cordova sebagai pusat ilmu pengetahuan. Universitas ini mengambil tempat di sebuah masjid. Pada masa pemerintahan Al-Hakam II (961-976 M), universitas tersebut diperluas lokasinya dan bahkan mendatangkan para profesor dari Timur (Al-Azhar dan Nizhamiyah) sebagai dosen undangan untuk memberikan perkuliahan di sana. Untuk melaksanakan upayanya ini, ia menyediakan berbagai fasilitas yang dapat menunjang kelancaran proses pendidikan, terutama bagi tenaga guru yang didatangkan dengan menyediakan berbagai hadiah untuk gaji dan honorer mereka.[12]
Selain itu, terdapat juga Universitas Sevilla, Malaga, dan Granada. Pada perguruan tinggi ini diajarkan ilmu kedokteran, astronomi, teologi, hukum Islam, kimia, dan lain-lain. Pada lembaga ini terdapat pengajar yang cukup dikenal diantaranya yaitu Ibnu Qutaibah yang dikenal sebagai ahli tatabahasa, Abu Ali Qali seorang ahli di bidang biologi. Namun secara garis besar perguruan tinggi di Spanyol terdapat dua konsentrasi ilmu pengetahuan yaitu filsafat dan sains.[13]
Dari penjelasan diatas, maka dapat difahami bahwa pola lembaga pendidikan yang ditawarkan pada masa itu telah memiliki kesamaan stratifikasi dengan pendidikan saat ini. Kesamaan tersebut yaitu dengan diterapkannya tingkatan-tingkatan kelas tertentu (sistem klasikal) dalam proses pendidikannya. Hal ini berarti telah ada pengelolaan administrasi pendidikan yang telah rapi pada saat itu, baik yang menyangkut taraf perkembangan peserta didik, fasilitas, maupun materi yang akan diajarkan.[14]

c.        Kurikulum Pendidikan
Dalam menunjang pendidikannya, pendidikan Spanyol Islam memberlakukan kurikulum universal dan komprehensif. Maksudnya yaitu menawarkan materi pendidikan agama dan umum secara integral pada setiap tingkatan pendidikannya, khusunya pendidikan tinggi. Indikasi dari kedalaman dan keluasan kurikulum pada waktu itu boleh jadi ditentukan konsekuensi-konsekuensi pratikal yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, sehingga pola kurikulum yang diterapkan tidak bersifat fleksibel dan adaktif.
Untuk pendidikan kejuruan, kurikulum yang ditawarkan boleh memberikan penekanan khusus kepada spesialisasi yang ditawarkan. Pengembangan kebijaksanaan ini diberikan hak kepada kebijaksanaan lembaga atau penguasa di mana pendidikan itu dilaksanakan.[15]
Pada masa ini, Fikih merupakan mata pelajaran yang pokok dan mendominasi kurikulum pada pendidikan formal, dan penetapan kurikulum ini harus mendapat persetujuan dari pemerintah. Hal tersebut disebabkan karena khalifah dan keluarganya sangat menentukan dalam penyediaan dana dan berbagai fasilitas yang dibutuhkan lembaga-lembaga pendidikan. Maju mundurnya lembaga pendidikan sangat bergantung pada interest patronase penguasa terhadap kegiatan keilmuan Islam. Namun selain fiqih, berkembang pula disiplin studi Islam lainnya, serta ilmu-ilmu umum lainnya.[16]

d.      Materi Pembelajaran
Materi yang diajarkan untuk sekolah tingkat rendah, menitikberatkan pada pendidikan agama yang meliputi dasar-dasar agama dan sastra. Sedangkan pada taraf berikutnya meningkat pada materi pendidikan ilmu-ilmu akal, seperti filsafat, matematika, farmasi, kedokteran, pelayaran, fisika, seni arsitektur, geografi, ekonomi, dan sebagainya, serta pengembangan ilmu-ilmu naqli (ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Quran dan Hadis).
Pengembangan ilmu-ilmu akal, dilakukan dengan jalan penerjemahan karya-karya Yunani kuno dan Persia ke dalam bahasa Arab, terutama karya-karya Aristoteles dan Plato. Karya-karya tersebut kemudian dianalisis dalam framework ajaran Islam. Analisa yang komprehensif dilakukan dengan jalan melaksanakan serangkaian percobaan di berbagai laboratorium yang telah disediakan oleh penguasa waktu itu. Dari hasil observatorium ini kemudian di sterilkan dan formulasikan sesuai dengan nilai-nilai islami. Hasil yang diperoleh selanjutnya mereka tulis menjadi buku dan disebarluaskan kepada masyarakat umum, kecuali  filsafat dan ilmu nujum yang terbatas pada orang-orang tertentu.[17]

e.       Metode Pembelajaran
Metode dan pendekatan belajar mengajar yang berlangsung di masjid pada masa itu, banyak bertumpu pada teacher centris dan menganggap ilmu sebagai sesuatu yang sudah final dan menjadi otoritas seorang ulama yang telah diakui. Dengan metode dan pendekatan ini, maka guru memegang peranan lebih dominan dibandingkan dengan peranan yang dimiliki oleh siswa
Metode yang biasa diterapkan, dapat dibagi kedalam dua macam, yaitu:
1.      Metode bagi Pendidikan Formal
Pada pendidikan ini, guru (dosen) duduk diatas podium, untuk memberikan materi pelajaran, khususnya pendidikan tinggi dengan membacakan manuskrip-manuskrip. Setelah itu, guru menerangkan secara jelas, kemudia materi tersebut didiskusikan bersama. Para pelajar diberikan kebebasan untuk bertanya dan mengeluarkan pendapat, bahkan diperkenankan untuk berbeda pendapat dengan statemen yang diberikan gurunya, asal mereka dapat mengajukan bukti-bukti yang mendukung kebenaran pendapatnya. Kesimpulan dari diskusi tersebut, kemudian dicatat, khususnya materi yang terbatas buku cetakannya.
Dalam menyampaikan materi pelajaran, seorang dosen dibantu oleh seorang asisten yang bertugas untuk membantu pelajar dalam memahami materi yang dipelajarinya. Ia menggunakan tiga langkah dalam presentasinya, yaitu menerangkan materi secara umum, singkat dan detail. Kemudian apabila masih ada yang belum mengerti, ia tidak segan untuk mengulanginya kembali. Kemudian mahasiswa menghafalnya, kemudian mengulang kembali apa yang dihafalnya, dianalisis, dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
2.      Metode Pendidikan bagi Pendidikan Nonformal
Metode pendidikan bagi pendidikan nonformal baik di istana maupun di luar istana yaitu dengan menggunakan metode halaqah. Posisi guru berada diantara para pengunjung. Guru mendiktekan sejumlah buku, dan kemudian menjelaskannya secara rinci. Diskusi seperti ini merupakan metode pengajaran yang sering dilakukan.[18]


KESIMPULAN
Dinasti umayah II didirikan oleh Abdurrahman ad-dakhil ibn muawiyah ibn hisyam pada tahun 138 H (757 M ) ad-dakhil artinya yang memasuki negeri karena dialah pangeran yang pertama kali dari keluarga bani umayah yang memasuki tanah Andalusia.
Lembaga pendidikan di Spanyol, baik tingkat dasar maupun menengah pada umumnya diberikan di masjid-masjid. Selain di masjid, lembaga pendidikan yang terdapat di Andalusia yaitu kuttab-kuttab dan perguruan tinggi. Salah satu perguruan tinggi yang terkemuka yaitu Universitas Cordova.
Pendidikan Spanyol Islam memberlakukan kurikulum universal dan komprehensif. Maksudnya yaitu menawarkan materi pendidikan agama dan umum secara integral pada setiap tingkatan pendidikannya, khusunya pendidikan tinggi. Untuk pendidikan kejuruan, kurikulum yang ditawarkan boleh memberikan penekanan khusus kepada spesialisasi yang ditawarkan. Pengembangan kebijaksanaan ini diberikan hak kepada kebijaksanaan lembaga atau penguasa di mana pendidikan itu dilaksanakan.
Materi yang diajarkan untuk sekolah tingkat rendah, menitikberatkan pada pendidikan agama yang meliputi dasar-dasar agama dan sastra. Sedangkan pada taraf berikutnya meningkat pada materi pendidikan ilmu-ilmu akal, seperti filsafat, matematika, farmasi, kedokteran, pelayaran, fisika, seni arsitektur, geografi, ekonomi, dan sebagainya, serta pengembangan ilmu-ilmu naqli (ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Quran dan Hadis).
Metode pendidikan yang diterapkan terbagi ke dalam dua macam yaitu metode pendidikan formal dan metode pendidikan nonformal. Metode pendidikan bagi pendidikan nonformal baik di istana maupun di luar istana yaitu dengan menggunakan metode halaqah.


DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul Munir. 2010.  Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
Muhyi. K dkk. 1998. Sejarah Kebudayaan Islam Mts. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag.
Nata, Abuddin. 2011.  Sejarah Pendidikan Islam . Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Nizar, Samsul. 2013. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Rosady, Eddy.  Belajar Efektif Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Intimedia
Ciptanusantara.




[1] Samsul Munir Amin., Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010). Hlm. 166.
[2] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam , (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011) hlm. 183.
[3] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013)  hlm.77-78.
[4] Eddy Rosady, Belajar Efektif Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Intimedia Ciptanusantara), hlm. 8- 9.
[5]Samsul Nizar,Op, Cit.,  hlm. 84.
[6] Ibid., hlm. 86.
[7] Ibid., hlm. 99.
[8] Drs. Muhyi. K dkk., Sejarah Kebudayaan Islam Mts, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag, 1998) hlm. 24   
[9]Abuddin Nata,  Op, Cit., hlm. 187.
[10] Ibid., hlm. 263.
[11] Samsul Nizar, Op, Cit., hlm. 98.
[12]Ibid., hlm. 80.
[13] Ibid., hlm. 100.
[14] Ibid., hlm. 80.
[15] Ibid., hlm. 82-83
[16] Abuddin Nata, Op, Cit., hlm. 190.
[17] Samsul Nizar, Op, Cit., hlm. 81-82.
[18] Ibid., hlm. 83-84.

Comments

Popular posts from this blog

Makalah Riba, Bank, Asuransi

BAB I PENDAHULUAN A.      Latar Belakang Fiqih merupakan bidang ilmu yang membahas tentang hukum-hukum amaliyyah mustanbathah (praktis) yang diambil dari dalil-dalilnya secara terinci. Adapun fiqih muamalah adalah salah satu dari cabang fiqih, yang mana di dalamnya mengatur hubungan antara satu individu dengan individu lain, atau antara individu dengan negara Islam, dan negara Islam dengan negara lain. Adapun dalam pembahasan kali ini akan dibahas mengenai riba, bank dan asuransi, dimana ketiganya merupakan bagian dari fiqih muamalah. Riba, bank dan asuransi merupakan sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan perekonomian di suatu negara, termasuk di Indonesia. Ketiganya sudah tak asing lagi di telinga masyarakat. Riba merupakan bentuk suatu penambahan dari pembayaran yang telah jatuh tempo. Banyak orang yang menyamakan riba dengan kegiatan jual beli. Anggapan tersebut jelaslah salah, karena keduanya memiliki perbedaan yang sangat mencolok yang dapat dilihat dari aktiv

Theory of Personality's Carl Rogers

KEPRIBADIAN DALAM PANDANGAN CARL ROGERS Disusun untuk Memenuhi Tugas Mandiri Mata Kuliah: Psikologi Kepribadian Dosen Pengampu: Dr. H. Wawan. A. Ridwan, M.Ag Oleh: EvieNurjanah               14121110051 JurusanPAI-B/semester-VI FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI CIREBON TAHUN 2015 M/1437 H KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah yang telah menolong kami menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan NYA mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan tugas mandiri mata kuliah Materi SKI di MA ini akhirnya dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta yakni Nabi Muhammad SAW.         Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang “Kepribadian dalam Pandangan Carl Rogers”. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun ma

Menjadi Pembelajar Sejati demi Mencapai Profesionalitas Guru? Sulitkah? atau Mudah kah?

Menjadi guru profesional memiliki arti bahwa seorang guru harus menjadi pembelajar sejati.  Sekarang ini bukan zamannya seorang guru memiliki perasaan bahwa dirinya adalah yang " TERPINTAR". Hmmm...apabila perasaan tersebut masih ada dalam diri kamu (especially bagi kamu calon pendidik :D ) maka jelas salah dan jangan berharap dulu bisa menjadi pendidik sejati hehe.. Seorang guru haruslah terus belajar untuk mencapai profesionalitasnya, salah satunya yaitu dengan menjadi pembelajar (maksudnya yaitu ia senantiasa menuntut ilmu demi menambah wawasan dan ilmu pengetahuannya) dan senantiasa melakukan perubahan perilaku sejalan dengan tugasnya sebagai pembelajar. Belajarnya seorang guru ini, akan membawa ia tumbuh dan berkembang secara profesional.pertumbuhan dan perkembangan itu bersifat kontinue. Menjadi pembelajar itu sangatlah penting, sehingga hal tersebut harus merupakan agenda pribadi dan terus dijaga agar tetap pada koridornya. Ketika guru menjadi pembelajar, siswa